YOGYAKARTA, gugat.id – Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, menegaskan bahwa persatuan dan perdamaian bangsa tidak dapat dibangun hanya dengan slogan. Menurutnya, semangat kebangsaan harus diwujudkan melalui kesadaran kolektif dalam menghormati perbedaan serta memperkuat keadaban publik.
Hal itu disampaikan Sri Sultan saat membuka Dialog Kebangsaan untuk Indonesia Damai di Sasana Hinggil Dwi Abad, Alun-alun Selatan, Yogyakarta, Minggu (26/10/2025). “Kebangsaan itu bukan sekadar simbol atau seremonial. Ia hidup dalam cara kita memperlakukan sesama, bagaimana kita menempatkan nilai kemanusiaan di atas kepentingan kelompok,” ujar Sultan.
Sultan menilai, ruang dialog menjadi kebutuhan penting dalam menjaga harmoni sosial, terutama menjelang tahun politik. Ia mengingatkan bahwa bangsa Indonesia memiliki modal sosial dan budaya yang kuat untuk menjaga kedamaian di tengah keberagaman.

“Kita ini bangsa yang besar, dengan perbedaan suku, agama, dan bahasa. Tapi yang membuat kita tetap satu adalah kesediaan untuk saling mendengar. Dialog seperti ini harus terus dijaga sebagai sarana memperkuat kebangsaan,” imbuhnya.
Menurut Sri Sultan, dialog kebangsaan juga menjadi momentum untuk meneguhkan kembali nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Ia menekankan bahwa menjaga stabilitas sosial bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi tugas bersama seluruh elemen masyarakat.
“Yogyakarta sejak lama menjadi ruang perjumpaan berbagai gagasan dan keyakinan. Dari sini pula semangat Indonesia damai dapat terus kita hidupkan,” kata Sultan.
Dalam kesempatan itu, Sri Sultan juga menyinggung peran kebudayaan dalam menjaga persatuan bangsa. Menurutnya, kebudayaan bukan hanya berbentuk artefak atau bangunan, melainkan juga nilai, etika, dan seni yang hidup di tengah masyarakat.
“Budaya takbenda itu seperti tari, nilai, dan etika. Budaya tidak tetap, tapi selalu bergerak mengikuti tantangan zamannya. Karena kehidupan ini pun terus berganti generasi, berganti cara pandang,” ujarnya.

Sultan menambahkan bahwa perbedaan cara pandang antar generasi adalah hal wajar, selama tetap ada ruang komunikasi dan saling menghargai. “Terhadap perbedaan-perbedaan karena zaman lahir yang berbeda, tidaklah jahat jika ada kebijakan yang mencoba menutup gap. Namun, hal ini harus dilakukan dengan komunikasi yang baik agar tidak menimbulkan masalah dalam membangun kebersamaan dengan seluruh warga,” jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya dialog antar generasi untuk menghindari kesalahpahaman dan menjaga stabilitas sosial. “Kalau yang muda suruh mengikuti saya, tidak bisa karena mereka tidak memiliki pengalaman seperti orang yang lebih tua. Yang penting, antar generasi bisa berdialog untuk menghindari kesalahpahaman,” lanjutnya.
Baca juga: https://www.gugat.id/orang-tua-murid-keluhkan-pungutan-komite-sekolah-di-sd-negeri-wonosari/
Menutup sambutannya, Sri Sultan berharap dialog semacam ini dapat terus digelar di berbagai lapisan masyarakat. “Yang lebih tua harus menyesuaikan diri dan mendengar aspirasi generasi muda. Dialog semacam ini penting agar masyarakat merasa aman dan nyaman. Kita berharap jalur-jalur dialog ini bisa merambat ke lapisan masyarakat lainnya,” ungkapnya.
“Dengan kekurangan yang ada, saya mohon maaf. Semoga jalur dialog seperti ini bisa terjadi di segala lapisan masyarakat,” tutup Sultan.
Acara yang dihadiri oleh berbagai tokoh masyarakat, akademisi, mahasiswa, dan perwakilan organisasi kemasyarakatan itu berlangsung hangat. Hadir pula GKR Hemas beserta para putri dan menantu, Prof. Mahfud MD, Prof. Edy Suandi Hamid, Prof. Sutaryo, jurnalis senior Rosiana Silalahi, seniman Butet Kartarajasa dan Soimah Pancawati, serta sejumlah tokoh nasional lainnya.
(Redaksi)