YOGYAKARTA, (GUGAT.ID) – Pelatihan dasar memahami kekerasan berbasis gender dengan peserta para generasi Z atau generasi milenian sangat strategis untuk memberi pemahaman tentang bahaya kekerasan tersebut.
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta Bagus Ajy Waskyto Sugiyanto M.A menyatakan, pemahaman yang baik tentang kekerasan berbasis gender pada kalangan generasi Z bisa menyokong efektivitas kerja dalam proses pencegahan kekerasan dimaksud.
“Dengan memberi pemahaman kepada Gen Z, saya berharap mereka dapat menjadi agen-agen pembaharuan dalam memahami bahaya kekerasan gender, dan menyokong pengurangan atau upaya menghilangkan aksi negatif tersebut, “ujar dia, Selasa (28/6/2022).
Menurut dia, upaya memberi pemahaman tentang keekrasan berbasis gender tersebut telah disosialisasikan kepada para pemuda di dusun Gandeng Karang Taruna Sorogenen, Dukuh Bibis, Timbulharjo, Sewon, Bantul Minggu, 22 Mei 2022.
Peserta yang ikut pelatihan, dari kalangan pemuda dan pemudi karang taruna berusia antara 15-20 tahun. Mereka diberi pelatihan dasar pemahaman mengenai kekerasan berbasis gender, dengan pendamping empat orang mahasiswa dari Prodi Ilmu Komunikasi. Dengan adanya mahasiswa yang terlibat dalam pelatihan, menurut Bagus Ajy, kegiatan ini juga merupakan upaya pembelajaran agar mahasiswa memahami bagaimana situasi terjun ke lapangan.
Dalam memberikan pemahaman kekerasan berbasis gender, dia menggunakan metode role play. Dengan metode itu, peserta diharapkan bisa lebih mudah untuk memahami masalah tersebut.

Menyangkut inspirasi dari pelatihan itu, dia menyatakan, didasari rasa prihatin atas maraknya kekerasan berbasis gender.
Menurut laporan catatan tahunan Komnas Perempuan sepanjang tahun 2020 terdapat 299.911 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan (Komnas Perempuan, 2021: 1). Jumlah ini mengalami penurunan sebesar 31% jika dibandingkan dengan laporan tahun lalu.
Faktor penurunan jumlah kasus kekerasan pada perempuan ini bukan dikarenakan kesadaran akan kedudukan perempuan sudah baik, tetapi karena kebijakan PSBB selama pandemi yang membuat korban dekat dengan pelaku, sehingga tidak berani melaporkan kasus yang dialaminya (Komnas Perempuan, 2021: 1).
Baca Juga
- Pakar Hukum UWM: OTT KPK Bukti Problem Integritas Pejabat Publik
- Pakar UWM Soal Larangan Ekspor Migor: Indonesia Kehilangan Devisa Rp 43 Triliun Per Bulan
- UWM dan NIU Sepakat Kerjasama Mengembangkan Pendidikan Bagi Semua Kalangan
Jika mengaca laporan Komnas Perempuan di tahun-tahun sebelumnya, tahun 2018 terdapat 406.178 kasus dan tahun 2019 sebesar 431.471 kasus, dengan kata lain terjadi lonjakan kasus sebesar 6,2 %, angka ini semakin mengkhawatirkan bahwa ternyata dalam waktu 12 tahun kekerasan terhadap perempuan meningkat sebesar 792% (Lokadata. Id, 2020).
“Saya prihatian, kekerasan terhadap perempuan masih marak terjadi hingga saat ini. Walaupun sudah sejak satu abad yang lalu tokoh-tokoh perempuan seperti R.A. Kartini, Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, ataupun Nyai Ahmad Dahlan (dan tokoh-tokoh perempuan lainnya) memberikan sumbangsih yang besar terhadap negeri ini, ternyata kondisi perempuan pada umumnya masih pada taraf yang tidak baik-baik saja,” kata dia.
Menurut dia, kondisi tersebut terkait dengan kultur sosial di Indonesia model patriarki. Model sosial ini membuat pihak perempuan semakin tidak berdaya.
“Konstruksi sosial dalam masyarakat melekatkan konsep seks dan gender. Seks atau jenis kelamin adalah suatu kategori biologis, sedangkan gender adalah konsep sosial yang berhubungan dengan sejumlah karakteristik psikologis dan perilaku yang kompleks yang dipelajari seseorang dalam pengalaman sosialisasinya. Pengertian gender kerap kali tertukar dengan pengertian seks. Pengertian seks adalah suatu kategori biologis, sedangkan gender merupakan konsep sosial,” kata dia.
(red/mjb)