Penulis
Rizkiansyah Fitramadhana
GUGAT.ID – Atta Halilintar, Baim Wong, Deddy Corbuzier, Ria Ricis. Deretan nama tersebut sama sekali tidak asing di telinga pecinta media sosial. Di Indonesia, mereka sering disebut sebagai pemengaruh (influencer). Ketika membuka aplikasi Youtube atau Instagram, konten yang mereka buat hampir pasti muncul dalam bagian rekomendasi atau bahkan telah kita saksikan. Ya, meskipun substansi yang diciptakan sering membuat kita mengernyitkan dahi karena terlihat aneh, tapi toh nyatanya mereka selalu mendulang banyak sekali penonton. Tidak ribuan, puluhan ribu, atau ratusan ribu, melainkan jutaan!
Merespon realitas baru tersebut, artikel ini bermaksud menjelaskan wacana pemengaruh secara eksploratif. Artinya, apa yang dibicarakan di sini hanyalah perkiraan awal yang perlu diperdalam lebih lanjut melalui penelusuran empiris. Setidaknya ada tiga hal yang bakal diudar.
Baca Juga
Pertama, kita perlu menguraikan alasan keberadaan mereka. Bisa dibilang alasan utama para pemengaruh membuat konten adalah karena uang. Dengan membuat konten bombastis yang mampu menarik perhatian banyak orang, pemengaruh dapat mengumpulkan pengikut (followers) dan pelanggan (subscribers). Bila berhasil meningkatkan pengikut dan pelanggan sampai pada angka tertentu, mereka bisa digaet oleh perusahaan untuk mempromosikan produknya di dalam konten yang dibuat oleh pemengaruh tersebut.
Pertanyaannya, dari mana mereka mendapatkan uang? Dari iklan (adsense) yang disematkan di konten mereka. Tapi, apakah hanya dari situ saja? Tentu saja tidak, ada peran pengikut dan pelanggan di dalam kesuksesan influencer tersebut. Sayangnya, kontribusi pengikut dan pelanggan jarang dibahas. Bahkan, terkadang, orang yang mengikuti dan menonton konten pemengaruh juga tidak sadar bahwa mereka sebenarnya sedang dimanfaatkan untuk kepentingan monetisasi. Pernyataan “klik tombol like dan subscribe karena itu gratis” yang sering diucapkan youtuber sebetulnya mengandung ajakan untuk membantunya mendapatkan uang.
Topik pembahasan kedua adalah organisasi kerja. Aktivitas penciptaan konten merupakan sebuah profesi. Di dalam sebuah akun Instagram atau Youtube seorang pemengaruh, terdapat pembagian kerja yang diatur guna memperlancar kegiatan pembuatan konten. Ada fotografer, digital marketer, editor, videografer, dsb. Lebih lanjut, terdapat relasi antara pemberi dan penerima kerja. Pemengaruh berposisi sebagai pemberi kerja sedangkan berbagai orang yang mengisi slot pekerjaan tadi menjadi penerima kerja. Nah, jika sudah menyinggung pembagian dan relasi kerja maka wacana yang kemudian muncul adalah upah dan kondisi kerja. Apakah influencer sebagai pemberi kerja memberi kompensasi yang sudah sesuai dengan beban kerja atau malah terjadi eksploitasi? Apakah kondisi kerja telah masuk dalam kategori layak atau sebaliknya? Pertanyaan semacam itu penting dimunculkan sebab apa yang indah di depan layar tidak selalu elok dipandang bila kita tahu isi dapurnya.
Baca Juga
Ketiga, pemengaruh sebagai pekerjaan. Sekarang, setiap anak-anak tampaknya ingin menjadi pemengaruh. Penelitian yang dilakukan oleh Lego pada tahun 2019 misalnya menemukan bahwa sepertiga anak di Amerika Serikat dan Inggris dengan rentang usia 8-12 tahun becita-cita menjadi youtuber atau vlogger. Ketertarikan itu, kemungkinan besar, dilatarbelakangi oleh kedekatan anak sekarang dengan media sosial, tawaran fleksibilitas kerja, potensi menjadi bos atas diri sendiri, dan penghasilan besar dari pekerjaan yang dinilai mudah.
Pada kenyataannya, persaingan di dunia pemengaruh tidak semudah membalikkan telapak tangan. Agar dapat masuk berkompetisi di ranah tersebut, seseorang mesti berjuang mati-matian dan tanpa lelah; memikirkan ide, membuat rencana konten, menciptakan konten lewat aplikasi audio maupun desain visual, menjadwalkan pengunggahan konten, mencermati matriks media sosial, dan memberi tanggapan. Semua itu adalah proses kreatif yang membutuhkan kerja keras, komitmen, dan pengorbanan. Sayangnya, bagian yang begitu menyiksa itu jarang sekali ditampilkan. Alhasil, anak-anak tergiur profesi pemengaruh tanpa mengerti bahwa dibaliknya ada duri yang siap menghadang jalan apabila mereka tidak siap secara kultur, modal, dan mental.