GUGAT.ID – Aksi demonstrasi warga Gunungkidul terhadap pembangunan tugu tobong terus berlangsung hingga kemarin, Minggu (24/04/2022). Lima perupa asal Gunungkidul mencurahkan kegelisahan atas rencana pembangunan tugu tobong mengantikan tugu kendang.
Menyimak semakin kencangnya aksi demonstrasi menentang rencana pembangunan tugu tobong menggantikan tugu pengendang itu, Sosiolog UGM, AB. Widyanta, turut memberikan komentar. Menurut Abe, aksi demonstrasi ini merepresentasikan artikulasi politik warga Gunungkidul yang resah karena identitas dan citra Gunungkidul akan digantikan dengan ikon tugu tobong yang dari aspek semiotik menunjukkan citra yang sangat cethek, banal, dan rendahan.
Baca Juga
- Tolak Tugu Tobong, 5 Perupa Curahkan Kegelisahan Melalui Lukisan
- Hentikan Rencana Pembangunan Tugu Tobong! Jangan Lukai Hati Rakyat Gunungkidul!
“Aksi demonstrasi ini adalah aksi kolektif warga sebagai parlemen jalanan karena absennya demokrasi deliberatif di Kabupaten Gunungkidul. Maka para anggota dewan mestinya membuka mata bahwa demonstrasi ini adalah kekuatan riil politik warga Gunungkidul yang resah karena identitas dan citra kabupatennya hendak direndahkan,” tegas Abe (25/4).
Lebih lanjut Abe menambahkan bahwa inilah moment politik yang sangat penting bagi seluruh warga Gunungkidul untuk lebih cermat dalam menyeleksi dan menyaring ulang, mana para pejabat publik yang mendengarkan aspirasi atau tidak, pro terhadap kebutuhan warga atau tidak, layak untuk dipilih kembali atau tidak.
“Inilah momen tepat penyeleksian pemimpin politik Gunungkidul di masa mendatang. Seberapa kadar kepemimpinan seseorang akan diuji di masa krisis, genting, dan krusial semacam ini,” imbuh Abe.
Baca Juga
- Tugu Tobong, Tuai Kritik Netizen di Medsos
- Yogyakarta Memerlukan Lebih Banyak Ruang Aktualisasi Remaja
Abe melanjutkan argumennya, demonstrasi ini adalah bukti bahwa persoalan rencana pembangunan tugu tobong ini bukanlah persoalan sepele. Demonstrasi ini bisa meluruskan “sesat pikir” seorang pimpinan dewan di Gunungkidul yang menyatakan bahwa “masalah ini sebenarnya bukan masalah besar di Gunungkidul. Pilihannya hanya mempertahankan patung kendang atau tugu tobong gamping.” Pernyataan itu jelas-jelas bentuk pragmatisme wakil rakyat pendukung rezim yang tidak mau lagi menggubris aspirasi warga Gunungkidul.
“Sebenarnya, saya ingin sekali mendengar suara lantang dari orang-orang yang duduk di Dewan Kebudayaan Gunungkidul. Mestinya mereka berada di barisan paling depan untuk menolak rencana pembangunan tugu tobong oleh Bupati Gunungkidul. Jika perlu mereka juga harus bersama barisan masa yang melakukan aksi unjuk rasa karena para pejabat publik di Gunungkidul telah menutup kanal-kanal komunikasi publik yang substantif dan representatif bagi warga yang melakukan protes,” kata Abe.
Abe menyarankan, bagi para warga yang tidak setuju terhadap pembangunan tugu tobong gamping ini juga bisa menyampaikan surat terbuka kepada Gubernur DIY dan menggelar dialog publik untuk mendengarkan solusi apa yang bisa dilakukan Pemerintah Provinsi terkait persoalan identitas dan genealogi budaya Gunungkidul yang sensitif semacam ini.
“Mengapa ke Gubernur? Ya karena, Gubernur DIY memiliki kewenangan untuk melestarikan, mengembangkan, dan melindungi budaya maupun kearifan lokal masyarakat di Gunungkidul sebagai salah satu kabupaten di wilayah Keistimewaan DIY,” pungkas abe.
Baca Juga
- Rakyat Menggugat: Lawan Oligarki, Bangun Demokrasi Yang Berkeadilan
- Penundaan Pemilu 2024 Runtuhkan Demokrasi dan Ekonomi
Meskipun penyelenggaraan urusan keistimewaan dilaksanakan di provinsi dan bukan di kabupaten/kota, namun Gubernur dan Wakil Gubernur DIY berkewajiban untuk melestarikan dan mengembangkan budaya Yogyakarta serta melindungi berbagai budaya masyarakat daerah lainnya yang berada di DIY sebagaimana termaktub dalam UU NO. 13/2012, Pasal 15 Ayat 1 poin (k).
Berdasarkan tugas pengaturan Keistimewaan DIY itu, Gubernur dan Wakil Gubernur DIY bertugas melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota di wilayahnya, seperti tertuang dalam UU NO. 13/2012, Pasal 10 Ayat 1 poin (g).
Atas dasar itu pula, rencana pembangunan tugu tobong di Gunungkidul itu mestinya mengindahkan dan sejalan dengan pengaturan Pemerintah Provinsi tentang keistimewaan DIY yang didasarkan pada beberapa asas berikut: (a). pengakuan atas hak asal-usul; (b). kerakyatan; (c). demokrasi; (d). ke-bhinneka-tunggal-ika-an; (e). efektivitas pemerintahan; (f). kepentingan nasional; dan (g). pendayagunaan kearifan lokal, seperti tertera dalam UU NO. 13/2012, Pasal 4 poin (a) hingga (g).
(Redaksi)