Yogyakarta, – Gugat.id, _// Diskusi tentang “Pengaturan dan Praktik Pendanaan Pendidikan di DIY : Sumbangan dan Pungutan” yang diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta (AMPPY) bersama PUSHAM UII memberikan gambaran berbagai tindakan satuan pendidikan dalam pengadaan pungutan dana bagi orang tua/wali murid yang berdampak tidak hanya ancaman penahanan ijazah anaknya, melainkan resiko dan kerentanan berkelanjutan bagi anaknya tidak dapat mencapai kesejahteraan di masa depan (07/12).
Diskusi ini sebagai bentuk keprihatinan atas kasus pungutan dana cenderung liar yang diselenggarakan oknum sekolah yang tidak bertanggungjawab.
Dalam diskusi ini sebagai langkah persiapan kajian dengan menghadirkan sejumlah akademisi sebagai peneliti ahli hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), dan sosiolog, serta perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan DIY dengan pemantik dari AMPPY yang berlangsung di Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, Dusun Jeruklegi, Desa Pringgolayan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Melalui paparan perwakilan AMPPY, Ibu Yuli (62) menjelaskan bahwa kasus pungutan dan sumbangan dana bukan terjadi dalam beberapa tahun ini, namun sudah sejak lama terjadi dengan dampak yang memprihatinkan bagi daerah dengan julukan kota pendidikan, DIY.
Pasalnya, korban dari kasus ini sebagaian besar adalah murid lulusan tanpa ijazah akibat tidak sanggup membayar pungutan dan sumbangan guna pendanaan satuan pendidikan.
“kejadian tahun 2019, ada anak yang ijazahnya ditahan, anak ini kasihan banget, padahal ijazah ini sebagai syarat minimal untuk bisa kerja, yang kemudian hasinya agar mampu meningkatkan taraf kesejahteraan hidup”, ujarnya.
Dalam diskusi itu, Yuli menyebutkan masih banyak masyarakat dalam konteks pendidikan lima dekade kebelakang mengalami diskriminasi akibat permasalahan sejenis pungutan maupun sumbangan.
“saya menemukan dokumen murid di salah satu sekolah pada lulusan tahun 1972, dan diperkirakan saya masih sekolah dasar waktu itu, ijazahnya masih disekolah”, jelasnya.
Kemudian, anggota AMPPY ini menunjukan bahwa terdapat kemungkinan berbagai kasus pungutan dan sumbangan dana pendidikan berdampak penahanan ijazah masih banyak terjadi sehingga dilakukan beberapa respon dengan melaporkan kejadian kepada Kejaksaan Tinggi dan melakukan somasi kepada sekolah yang ditengarai melakukan pungutan liar khususnya di sekolah-sekolah wilayah DIY.
“saya itu menemukan ada dua ribu lebih kasus pungutan dari sekolah negeri, dan saya yakin masih ada 10 ribu lebih kasus dari sekolah swasta dengan orientasi pendanaannya cenderung demikian pada tahun 2019, belum lagi pada tahun 2020 untuk sekolah negeri telah mencapai 1.800 lebih kasus, dan saya sempat lapor ke Kejaksaan Tinggi, bahkan pernah melakukan somasi terhadap beberapa kasus yang ditengarai sekolah melakukan pungutan dana”, Imbuhnya.
Beberapa saran dari hasil kajian ini, melalui paparan sejumlah akademisi dan perwakilan Ombudsman dapat memberikan adanya kebijakan revisi perda terkait pedoman pendanaan pendidikan.
Kampanye hingga internalisasi larangan pungutan liar sekolah, penegakan hukum, diadakannya sekolah percontohan yang menyelenggarakan sumbangan sukarela, serta peningkatan kapasitas komite sekolah dan penyelnggara satuan pendidikan dalam melakukan fundrising (penggalangan dana) yang berbasis kesukarelawanan dalam peningkatan mutu pendidikan.
Hadi_gugat ID
(Redaksi Gugat ID)