Penulis : Surya Aji Pratama
GUGAT.ID – Jika kita ingin berlibur atau mudik lebaran dari ujung timur jawa ke ujung barat pulau jawa kita akan diberi akses transportasi yang mudah yaitu melalui Jalan Raya Pos. Perjalanan tersebut akan diwarnai dengan keindahan pantai utara dan hutan-hutan rawa yang menawan dari wilayah Anyer, Serang hingga Panarukan, Situbondo.
Jalan yang dalam nama Belanda dikenal sebagai De Groote Postweg ini sekarang menjadi jalan penting untuk keperluan ekonomi, sosial dan pariwisata. Tetapi kelokan jalan yang membentang panjang tersebut terdapat sejarah sosial dan politik yang perlu kita refleksikan.
Jalan tersebut di bangun pada masa Hindia Belanda pada tahun 1808 hingga 1811 dipimpin oleh Jenderal Gubernur Herman Willem Daendels (Haak 1938). Pembuatan jalan yang kini kita dapat menikmatinya tersebut ternyata mengandung trauma secara sosio-historis di benak masyarakat Indonesia. Karena dalam pembuatan jalan tersebut menumbalkan ribuan pekerja pribumi asli, yang dipaksa dan tidak memperoleh hak yang setimpal dengan pekerjaan jalan tersebut (“Java and De Groote Postweg, La Grande Route, the Great Mail Road, Jalan Raya Pos,” 2021).
Daendels memerintahkan pembangunan jalan tersebut sebagai kepentingan pemerintahan militer Hindia Belanda untuk mempermudah mempertahankan pulau jawa dari serangan Inggris. Hal tersebut dapat ditelisik melalui publikasi tulisan sejarah populer maupun akademis, juga di dalam narasi film salah satunya film dokumenter yang disutradarai Pieter van Huystee berjudul “Jalan Raya Pos – De Groote Postweg”.
Baca Juga
- Resensi Buku Nicotin War : Merokok Menyelamatkanmu!
- Momentum Musik Orkestra Menggema Mendunia di Era Disrupsi Digital
Film yang berdurasi sekitar 2 jam 30 menit tersebut mengisahkan pembuatan jalan dan menampilkan adegan suasana jalan pada pemerintahan Suharto. Sebenarnya jika ditelaah lebih lanjut susana sosial dan politik pada masa orde baru sangat otoriter dan menindas kebebasan masyarakat.
Narasi yang di pandu dan dibacakan dalam film tersebut sangatlah menginspirasi serta menumbuhkan perenungan kritis terhadap pembangunan Jalan Raya Pos dan situasi sosial-politik pada masa pemerintah Belanda maupun pemerintahan Orde Baru Soeharto. Beliau yang menemani kita dalam menikmati film tersebut adalah seorang pahlawan sastra yaitu Pramoedya Ananta Toer.

Bagaimana Jalan Raya Pos menjadi saksi bisu sejarah penindasan kolonialisme Belanda?, Bagaimana respon Pramoedya terhadap pembuatan jalan tersebut? Apa yang diperjuangkan Pramoedya saat pada masa kolonialisme belanda dan masa Orde Baru? Dan banyak lagi pertanyaan yang bermunculan setelah menonton film Jalan Raya Pos tersebut yang menarik untuk didiskusikan dan direfleksikan.
Kolonialisme dan lahirnya Tragedi
Negara dan bangsa Indonesia sekarang ini terbentuk tidak terlepas dari penjajahan kolonialisme bangsa barat. Negri yang kaya dengan sumber daya alam dan sumber daya manusia nya ini menjadi wilayah yang menawan sehingga dihinggapi oleh bangsa lain. Mulai dari penjajahan bangsa Spanyol, Portugis, Belanda, Perancis, inggris dan Jepang.
Baca Juga
- Berkenalan Dengan Monster Baru Bernama Metaverse
- Uang Crypto Acaman Nyata Bagi Banyak Negara di dunia
Dari sekian banyak bangsa yang mengeksploitasi dan mengkoloni bangsa Indonesia, pada mulanya mereka hanya berkunjung untuk berdagang saja. Tetapi pada kenyataan nya setelah lama singgah di tanah nusantara yang awalnya hanya berdagang berubah menjadi pencaplokan dan perampasan kekayaan alam dan pemerasaan hak asasi manusia untuk dipekerjakan paksa.
Hal tersebut dapat ditilisik kedatangan Belanda tahun 1596 di bawah kepemimpinan Cornelis de Houtman di Banten. Pada awalnya memang mereka berdagang dengan masyarakat nusantara, kemudian perdagangan tersebut di monopoli dengan didirikannya Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC).
Kehadiran kongsi dagang VOC sangat menindas rakyat karena badan tersebut memiliki hak istimewa seperti hak monopoli perdagangan, hak memiliki angkatan bersenjata, hak mengangkat pegawai dan memberhentikan nya, hak untuk mengadakan pengadilan serta hak untuk mencetak uang dan mengedarkan nya sendiri.
Oleh sebab itu keadaan ekonomi masyarakat pada saat itu sangat mengalami krisis, apa yang mereka kerjakan tidak sesuai dengan apa yang mereka peroleh. Sehingga rakyat menderita jatuh miskin dan tidak memperoleh penghidupan yang layak secara sosial, ekonomi dan politik.
Pada selanjutnya penderitaan rakyat tidak hanya berhenti di situ saja, tetapi banyak praktik kolonisasi yang merampas kehidupan kemerdekaan salah satunya pembangunan Jalan Raya Pos. Seperti yang diungkapkan di muka, pembuatan jalan oleh pemerintahan Gubernur Daendels ini menyebabkan tragedi kemanusiaan.
Baca Juga
- Memasyarakatkan Keistimewaan, Mengistimewakan Masyarakat DIY
- Rencana Pembangunan Tugu Tobong Gunungkidul Terindikasi “Membangkang” Terhadap Amanah UU Keistimewaan DIY
Tenaga, pikiran dan mental terkuras oleh pengerjaan jalan yang tidak dibayar secuil receh pun. Disebutkan di dalam film dokumenter De Groote Postweg banyak pekerja yang kelaparan, kelelahan dan menderita penyakit kemudian meninggal tidak mendapat penanganan yang layak oleh pemerintah gubernur Belanda.
Lebih dalam lagi jalan tersebut bukan dibuat untuk kepentingan maslahat kesejahteraan umat melainkan ditujukan untuk pertahanan dan kelancaran distribusi industri pemerintah Belanda. Penderitaan dan secuil kebahagiaan kecil rakyat mengerjakan pekerjaan membangun jalan tersebut, kedua pilihan tersebut harus dipilih kalau mereka tidak ingin disuruh untuk menggali kuburannya sendiri langsung.
Lebih jauh lagi kolonialisme tersebut juga menimbulkan dampak pada sosial, politik dan budaya masyarakat nusantara. Bangsa kolonial datang ke daerah jajahan nya juga menciptakan hirarki sosial, seperti seolah mereka (baca: bangsa eropa) adalah bangsa yang bermartabat dan memiliki peradaban tinggi. Orang lokal dianggap sebagai objek yang rendah dan sering di tindak sehingga bagian utama tradisi dan budaya lokal mereka hancur (Gandhi, 2020).
Singkatnya terdapat perlawanan langsung koersif maupun persuasif dari para pejuang kemerdekaan Indonesia. Dan pada akhirnya tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Secara konstitusi deklarasi tersebut sah sebagai sikap respon untuk merdeka dari penjajahan bangsa asing. Kemudian Indonesia mulai membangun “rumah tangga” dalam negeri, membangun infrastruktur sekaligus membangun insan kamil nya.