Desa Pilar Keistimewaan |

Desa Pilar Keistimewaan

By

GUGAT.ID – Dalam konteks keistimewaan Yogyakarta ada peran baru yang disandang para kepala desa. Sesuai Pergub DIY Nomor 2 Tahun 2020, sebutan Kepala Desa berubah menjadi Lurah. Mereka pun kini memiliki tanggung jawab baru sebagai pemangku keistimewaan. Lebih dari sebagai pelaksana tugas administratif kelembagaan dan pembangunan, para lurah harus mampu menggerakkan dinamika kebudayaan, mengelola urusan pertanahan, dan tata ruang berdasarkan kearifan lokal. Perubahan nomenklatur kelembagaan pemerintahan di level bawah dari desa menjadi kalurahan dimaksudkan antara lain untuk menggerakkan dan membumikan urusan keistimewaan. Ini bukan hal yang mudah dikerjakan mengingat masih adanya semacam dualisme peran. Meskipun nama dan jabatan telah mengacu ke keistimewaan, tetapi tugas harian lurah berikut perangkat kalurahan masih sama, yakni seputar penyelenggaraan pemerintahan desa, melaksanakan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat desa (UU Nomor 6 Tahun 2014).

Lalu bagaimana dengan tanggung jawab barunya sebagai pemangku keistimewaan?

Sejarah mencatat peran desa yang sangat strategis dari masa ke masa terutama pada saat bangsa mengalami krisis. Pada masa revolusi fisik (1948-1949), desa-desa di wilayah Yogyakarta merupakan kantong sekaligus perisai bagi para pejuang. Secara berantai rakyat pedesaan menjadi tameng perjuangan Panglima Besar Sudirman saat NKRI berada di titik nadir. Jejak juangnya pun masih bisa ditemukan di sepanjang Pegunungan Seribu. Begitu juga pada masa krismon (1997-1998) atau pandemi Covid-19 (2020-2021), desa mampu menjadi salah satu penopang eksistensi negara. Desa tetap saja mampu menampung warganya yang terdampak krisis dan pandemi saat mereka harus kembali pulang kampung. Idiom Jawa, ”mangan ora mangan kumpul” seolah menemukan konteks historisnya.

Fenomena di atas adalah modal berharga bagi para lurah. Bahwa desa dalam pengertian historis sosiologis memiliki segudang potensi yang bisa dikelola dan diberdayakan untuk kepentingan yang lebih luas. Desa-desa kita kaya dengan jejak sejarah arkeologis, seni, adat tradisi, budaya, kerajinan, pertanian, kuliner dan beragam kearifan lokal yang bisa diangkat untuk kepentingan pariwisata. Kohesi sosial yang masih terjaga (golong gilig) merupakan modal sosial yang penting untuk menahan disintegrasi dan gempuran budaya asing. Itulah kenapa desa kita sesungguhnya memiliki watak hamandoro yakni berdaya, berdikari dan mandiri karena mampu memutuskan dan menyelesaikan masalahnya sendiri.

Selain harus mewarisi karakter Ki Lurah Semar sebagai pamomong yang mengayomi, para lurah juga harus rela bela bakti demi tercapainya kesejahteraan rakyat. Kondisi ini mensyaratkan lurah bisa mengidentifikasi dan memberdayakan potensi desanya, mendesain program yang membumi, sekaligus menawarkan solusi atas sejumlah permasalahan yang membelit warganya. Artinya, dalam perspektif baru ini peran lurah identik dengan seorang pionir dan entrepreneur sejati. Belum banyak lurah di Daerah Istimewa Yogyakarta yang benar-benar mampu menginisiasi program pembangunan sebagai pengejawantahan ruh keistimewaan.

Selama ini banyak predikat yang melekat atau dilekatkan pada desa, namun kadang bersifat parsial dan sulit ditemukan keberlanjutannya. Masing-masing program yang menyangkut desa tersebut biasanya memiliki pendamping, tetapi nyaris tak pernah ada koordinasi dan sinergi untuk menginisiasi sebuah program bersama yang terintegrasi agar memiliki daya dobrak yang kuat. Celah dan kelemahan inilah yang harus segera disikapi para lurah sebagai pemangku keistimewaan. Bak seorang dirigen, lurah memiliki peran sebagai dinamisator atas kinerja lembaga kalurahan, para pendamping, dan perangkat kalurahan untuk bersama-sama masyarakat melahirkan karya yang monumental.

Pilihan paling rasional bagi para lurah selama menjabat sekaligus sebagai pemangku keistimewaan adalah mewujudkan Desa Mandiri Budaya. Sesuai Pergub Nomor 93 Tahun 2020, desa mandiri budaya adalah desa yang mahardika, berdaulat, berintegritas dan inovatif. Oleh karena itu, Lurah dituntut mampu mensinergikan keberadaan Desa Wisata, Desa Budaya, Desa Preneur, dan Desa Prima sesuai konteks masing-masing kalurahan. Hanya dengan begitu, keistimewaan Yogyakarta bisa dirasakan dampak dan manfaatnya bagi masyarakat pedesaan.

Penulis : Wahjudi Djaja, S.S., M.Pd (Dosen STIE Pariwisata API Yogyakarta & Anggota BPPS)


Leave a Comment

Your email address will not be published.

You may also like

Hot News

Instagram
WhatsApp
Tiktok
error: Content is protected !!