GUGAT.ID – Menyoal pemberitaan viral tentang rencana Bupati Gunungkidul membangun Tugu Tobong menggantikan Tugu Pengendhang di perempatan jalan Siyono, Playen, Gunungkidul, Sosiolog UGM, AB. Widyanta, turut mengomentari keputusan Bupati Gunungkidul yang sangat terkesan “sak karepe dhewe” (memaksakan kehendaknya sendiri) tanpa menggubris suara khalayak warga Gunungkidul.
Menurutnya, rencana pembangunan Tugu Tobong itu terlalu “memaksakan kehendaknya sendiri” dan tidak mengindahkan suara warga Gunungkidul. Padahal, pondasi dalam berdemokrasi itu adalah musyawarah untuk mufakat, yang memuat makna “ngemong karepe wong okeh”, bukan “nggugu karepe dhewe”
“kudune ngemong karepe wong okeh, bukan nggugu karepe dhewe,” kata Abe (23/4).
Dengan lantang, Abe melontarkan kritik “Hentikan rencana pembangunan Tugu Tobong yang ahistoris dan tidak punya dasar filosofis yang jelas itu. Jangan lukai hati rakyat Gunungkidul. Jangan khianati kepercayaan dan situasi kebatinan warga Gunungkidul yang telah sekian lama menghidupi (ngurip-urip) dan merawat (nguri-uri) warisan budaya adiluhung dengan beragam ekspresi seni pertunjukan yang begitu kaya dari tubuh kebudayaan Gunungkidul.”
“Jangan lukai hati rakyat Gunungkidul, jangan khianati kepercayaan dan situasi kebatinan warga Gunungkidul yang telah ngurip – urip dan nguri – nguri warisan budaya yang adiluhung,” tegas Abe.
Persis dalam kata “Kabudayan” itulah yang “HANDAYANI”, memberi daya hidup, injeksi spirit, dorongan semangat, peneguh rasa percaya diri dan kemartabatan warga Gunungkidul dalam menjalani kehidupan dan penghidupan mereka sehari-hari.
Baca Juga
- Rakyat Menggugat: Lawan Oligarki, Bangun Demokrasi Yang Berkeadilan
- Penundaan Pemilu 2024 Runtuhkan Demokrasi dan Ekonomi
- Tugu Tobong, Tuai Kritik Netizen di Medsos
Dalam kesulitan-kesulitan hidup yang menghimpitnya, “kabudayan” itulah yang menjadi elan vital (nyala api) bagi manusia-manusia Gunungkidul. Karena itu pula mereka memiliki berbagai kapasitas: daya lenting (resilience), daya adaptasi, dan ketangguhan dalam hidup mereka.
Sebagai pengajar Sosiologi Kebudayaan, Abe mengingatkan kepada para pejabat publik di Kabupaten Gunungkidul, Bupati dan para anggota dewan, untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam mengambil keputusan yang sangat sensitif ini.
Menurutnya, persoalan ini sangat berkaitan erat dengan “identitas”, “jati-diri”, “martabat”, yang akan membawa implikasi serius bagi bangunan entitas “kemanusiaan” dan “peradaban hidup” warga Gunungkidul.
“Jangan main-main, ini persoalan sangat serius yang menyangkut jati diri, harkat, dan martabat warga Gunungkidul dalam membangun peradaban dan kebudayaan,” jelas Abe.
Abe mengingatkan, pembangunan berbasis budaya adalah pondasi dari Keistimewaan Yogyakarta. Jika Bupati Gunungkidul tetap bersikukuh dengan rencananya dan para anggota dewan yang maha terhormat juga hanya diam seribu bahasa, membiarkan pembangunan tugu tobong itu terjadi, maka warga Gunungkidul akan bisa dengan mudah menyimpulkan bahwa para pejabat publik Gunungkidul telah bermufakat untuk membangkang dari amanah UU Keistimewaan Yogyakarta yang menjunjung tinggi “pembangunan berbasis budaya”.
“Jika Bupati Gunungkidul tetap bersikukuh, dan dewan yang maha terhormat diam seribu bahasa membiarkan pembangunan tobong itu terjadi, warga akan bisa dengan mudah menyimpulkan pejabat publik gunungkidul telah bermufakat untuk membangkang dari amanah UU Keistimewaan Yogyakarta yang menjunjung tinggi pembangunan berbasis budaya,” pungkas Abe.
(Redaksi)