Yogyakarta,( Gugat.ID) – Koordinasi tindak lanjut atas sosialisasi merelokasi Pedagang Kaki Lima Malioboro ke Gedung Ex-bioskop Indra yang dipimpin oleh Kepala Dinas Kebudayaan berlangsung senyap tanpa tanggapan sebanding dengan informasi pada siang hari (21/12) di Hotel 101, Jalan Mangkubumi, Kota Yogyakarta.
Koordinasi ini mempertemukan antara Pedagang Kaki Lima (PKL) Malioboro dengan Dinas Kebudayaan (Kudha Kabudayan) UPT Pengelola Cagar Budaya Kota Yogyakarta berlangsung dengan tanpa tanggapan penolakan dan keributan, walaupun raut wajah pedagang menyesali salah satu pembangunan keistimewaan Yogyakarta, yakni cagar budaya Malioboro harus merubah tatanan pedagang yang sudah puluhan tahun berjualan.
Salah seorang pedagang, Wartono (68) menyesalkan hal tersebut, akibat ada keinginan Pemerintah Kota Yogyakarta agar Malioboro diakui oleh UNESCO.
“Beberapa dari kami sudah puluhan tahun berjualan dan berkenalan dengan wisatawan luar negeri dan dalam negeri, semua tahu Malioboro khas dengan kuliner, baju, dan oleh-oleh yang merakyat, sampai ingin ditiru oleh beberapa kota besar lainnya, tapi Kota ini sepertinya belum memaknai filosofi dari keistimewaan Yogyakarta antara masa lalu atau sejarah dan masa depan atau keberlanjutan nya, namun juga perubahan positif kami yakini pasti ada, tidak terkecuali negatifnya yang akan cukup terlihat”, ujarnya.
Pada waktu pandemi berlangsung dengan ketatnya jaga jarak, pedagang kaki lima telah melakukan aksi dengan respon baik dari pemerintah, salah satunya menerima afirmasi dari Presiden Republik Indonesia berupa bantuan untuk PKL terdampak pandemi agar tetap berjualan di Jalan Malioboro sesuai peraturan waktu yang ditentukan.
Namun, afirmasi ini tidak cukup membuat pertimbangan Pemerintah Kota Yogyakarta luluh untuk memilih: menata PKL agar sesuai syarat UNESCO dan yang lainnya, daripada memindahkan PKL.
Selain sebagai daya tarik wisatawan berkunjung, PKL Malioboro menjadi lintasan yang mempertemukan dan menukarkan pengetahuan terkait budaya benda dan tak benda (sejarah, bahasa, adat dan seni) dari hubungan interaksi-transaksional dari tawar menawar produk yang dijualnya kepada pengunjung.
Daya tarik interaksi-transaksional itu pula yang menjadikan Malioboro sebagai pusat percepatan sosial-ekonomi sebagai potensi dan aset citra keistimewaan dari hasil cipta, rasa dan karsa antara Kasultanan Hamengku Buwono dan rakyatnya di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Namun demikian, masih perlu dipertanyakan kembali hasil negosiasi antara Pemerintah Kota Yogyakarta dan PKL Malioboro, Apakah tetap akan memboyong potensi dan aset citra itu, atau terdapat penarikan kesimpulan alternatif agar keduanya saling memahami ?
Ali_ Gugat ID (sosiologi UGM)
[…] Baca Juga : Koordinasi Relokasi, PKL : Malioboro Indah Tanpa Memindah […]