GUGAT ID, – Perkembangan gerakan aktivisme lingkungan dan HAM bertegangan dengan sejumlah pejabat publik sudah beberapa tahun kebelakang terjadi hingga semakin memanas. Eskalasi terbaru, Haris Azhar (advokat dan intelektual Indonesia) dan Fatia Maulidiyanti (Koordinator KontraS) diumumkan sebagai tersangka akibat bersitegang dengan Luhut Binsar Panjahitan (Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi).
Dugaan terbaru, Luhut melaporkan pidana dan perdata keduanya disebabkan pencemaran nama dalam sebuah konten video platform youtube dari channel ngeHAMtam berjudul “ADA LORD LUHUT DIBALIK RELASI EKONOMI-OPS MILITER INTAN JAYA‼️JENDERAL BIN JUGA ADA‼️”.
Sementara dalam video tersebut, Haris dan Fatia bersama Owik mendiskusikan terkait hasil laporan riset sejumlah lembaga dari KontraS, WALHI Papua, Jantam Papua, YLBHI Papua, Pusaka, dan yang lainnya tentang pengisian saham Mind ID (BUMN Holding Industri Pertambangan Indonesia) yang diketahui keterlibatan sejumlah pejabat publik, serta sejumlah prunawirawan TNI-PolRI yang menjabat beberapa perusahaan dalam konsesi pertambangan di Papua, diantaranya:
Pertama, Tobacom del mandiri (anak perusahaan Toba Sejahtera) dengan Direktur Lokalwirnawan TNI, Paulus Prananto. Anak perusahaan ini juga, sahamnya dimiliki oleh Luhut binsar Panjaitan. Kedua, adanya PT. Freeport Indonesia (PTFI) dengan beberapa Komisaris, salah satuanya ditempati oleh Kepala BSSN (Badan Saiber dan Sandi Negara) yakni Hinsa Siburian (bekas Pangdam Cendrawasih). Anggapan keduanya, Kepala BSSN sekaligus purnawirawan Pangdam cendrawasih ini sudah “menabung” untuk menempati posisi sebagai komisaris di PTFI. Ketiga, ada Mind ID itu sendiri. Keempat, PT. Madinah Qurrota’ain (PTMQ) percabangan dari sedikit saham yang bergabung dalam Mind ID.
Baca juga
- Tunda Pemilu Picu Kontraksi Politik dan Konflik Besar
- Penundaan Pemilu 2024 Runtuhkan Demokrasi dan Ekonomi
Selanjutnya, keduanya membahas adanya keterlibatan Jendral Purnawirawan TNI angkatan darat dan beberapa mantan elit Kopasus, serta purnawirawan POLRI. Sejumlah diantara pihak yang disebutkan itu, ada yang masih menjabat diposisi jabatan publik, ada yang masih menjabat sebagai Dewan Penasehat BIN, serta sebagai bagian dari tim pemenangan Presiden Joko Widodo.
Dari pihak yang sudah disebutkan Fatia, Haris mempertanyakan tentang hasil laporan itu terkait intepretasi dugaan atas jabatan komisaris dan kepemilikan saham sebagai hadiah politik dalam pemenangan Joko Widodo.
Fatia menambahkan dugaan, bahwa bukan hanya sebagai hadiah, namun posisi mereka sebagai bagian menghasilkan sumberdaya dalam pemenangan Joko Widodo sebagai Presiden.
Selain itu, ada dugaan kuat keterlibatan pengiriman prajurit TNI guna operasi militer di Bukit Intan Jaya, sekaligus adanya jendral-jendral purnawirawan TNI dan POLRI mendapat kepemilikan saham dan konsesi untuk eksploitasi bukit emas melalui pertambangan. Fatia memperjelas, bahwa ada dugaan bisnis militeristik di Papua dan konsesi tambang memiliki ujung krucut bersama.
Sementara saat diskusi itu, Haris menanyakan dengan kalimat ‘satire’ bahwa, “bagaimana kalau kepemilikan tambang-tambang itu kita ambil alih?”. Jawaban Fatia adalah, “jangan dong, kita sama-sama jahat dong”.
Dari hasil laporan itu, Owik sebagai Direktur WALHI Papua yang bergabung dalam penyusunan laporan riset tersebut menyampaikan enam rekomendasi, misalnya: Pemerintah Pusat harus menarik aparat keamanan dari TNI-POLRI secara organik, pemerintah pelu menindak tegas pelanggaran HAM, serta pemerintah harus mencabut perijinan perusahaan yang tidak mendapat persetujuan masyarakat lokal.
Haris mengumumkan kepada pemirsa video, bahwa bagi pihak-pihak yang menginginkan dokumen hasil laporan riset dapat mengunduhnya di website masing-masing lembaga yang terlibat dalam riset tersebut. Kemudian, adanya situasi mencekam yang melibatkan korban luka/meninggal dari pendeta, anak-perempuan, bahkan berakibat kepala daerahnya mengungsikan diri.
Kemudian, Haris menyampaikan perbandingan antara Papua dengan konflik/chaos (warga diberikan/dibiarkan memiliki senjata dan pengungsi dibiarkan) tanpa transparansi informasi dan Jakarta justru menunjukan adanya kesepakatan-kesepakatan yang ingin mengumpulkan 8,1 juta ton emas dihasilkan dari tanah Papua.
Terakhir, haris mengingatkan bahwa dari sekian juta ton emas itu jangan ada yang menyesal tidak bergabung dengan kekuasaan, namun semoga kita tidak dicatat sebagai bagian yang merusak alam papua.
(Hidayat/red)