Memasyarakatkan Keistimewaan, Mengistimewakan Masyarakat DIY |

Memasyarakatkan Keistimewaan, Mengistimewakan Masyarakat DIY

By

GUGAT.ID – Sampai hari ini, tidak ada bacaan yang menarik tanpa ada unsur masyarakat dan ketegangan sosial di dalam keistimewaan DIY. Tanpa sadar keistimewaan tersebut berasal dari sebuah bacaan menjadi realitas sosial-ekonomi-budaya, seakan tercipta tanpa dorongan apapun dan stigmanya lahir begitu saja.

Keistimewaan Jogja awalnya diketahui kalayak umum dari dua hal, yakni: 1) sematan kata istimewa diantara kata “Daerah” dan “Yogyakarta”; 2) disahkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY.

Apakah tanpa keduanya DIY mampu mempertahankan keistimewaannya? Atau bahkan menciptakan nuansa sedemikian rupa?Jawaban pertanyaan itu, hanya masyarakat Yogyakarta sendiri yang mampu mencarinya dengan memanfaatkan keistimewaan di DIY.

Baca Juga 

Pemahaman Tentang Memasyarakatkan Keistimewaan DIY

Sejarah yang dibangun dari kata “istimewa” dalam nama DIY adalah pemberian atas dasar perjuangan pembentukan NKRI. Namun, tidak banyak dan seheboh sekarang, keistimewaan seakan dipahami sebatas ajang keterpaksaan memasyarakatkan keistimewaan.

Padahal tujuan tercapainya kesejahteraan bersama dan keadilan sosial dengan memberikan afektifitas (rasa mengakui) keberadaan masyarakat dengan kondisi apapun.

Keistimewaan DIY memiliki kondisi berbeda sebagai daerah istimewa, bukan akibat dana istimewa yang besar, kebudayaan yang mahal, atau lembaga pendidikan yang favorit, namun masyarakatnya yang istimewa dengan setiap karakternya menerima resiko bergabung dengan NKRI.

Sehingga pengakuan negara terhadap eksistensi masyarakat itu perlu dilakukan dengan bangunan narasi dalam perUndang-Undangan Republik Indonesia.

Baca Juga

Perlu Tujuan Baru, Mengistimewakan Masyarakat DIY

Kokohnya bangunan monumental dari perUndang-Undangan tentang Keistimewaan DIY, berkembang dan mengakibatkan banyak masyarakat belum siap diistimewakan. Bahkan di dalam daerah ini saja, banyak menanyakan masyarakat yang diistimewakan seperti apa? Kenapa realitasnya berbeda dengan narasi-narasi dari implementasi perUndang-Undangan yang berkaitan dengan masyarakat? Pertanyaan semakin banyak dengan beragam komitmen-komitmen yang dibuat pemerintahan DIY dengan Pemerintah Pusat, seperti TOL, Pelabuhan, Jalan, dan Bandara, hingga penangulangan masalah kekerasan anak di jalanan.

Pertanyaan tentang kapan masyarakat menerima manfaat lebih, pun masih sangat jarang diukur dengan seksama dan maksimal.

Namun, pemerintah bukan berarti menjadi kambing hitam, justru masyarakat perlu berfikir dan bertindak kembali peranannya sebagai subyek yang sedang akan diistimewakan. Seperti perkataan Marcuse Aurelius, “Waste no more time arguing about what a good man should be. Be one”, artinya: tidak ada waktu menanyakan seperti apa orang baik dan Jadilah orang baik saja. Demikian pula keistimewaan, jadilah istimewa masyarakat jogja, bukan terkungkung atau terjerat, namun merdeka yang memerdekakan.

Misalnya, perkumpulan seniman membuat atraksi teatrikal untuk membangun ekonomi bersama, pemerhati jalanan mencipatan “gelut day” untuk memberikan ruang bagi anak berenergi lebih menjadi pegulat profesional, pemanfaatan tanah kasultanan dan kadipaten untuk pertanian, kebudayaan, dan menjadi lokasi sarana prasarana yang melahirkan putra/putri berbakat dari hasil mengistimewakan masyarakat di DIY.

Utamanya, menjadi masyarakat berdikari, terus menjadi istimewa yang mandiri, kolektif dan bermanfaat dalam pembentukan bangsa ini, entah dianggap sebagai pro-kontra, setidaknya keduanya sama-sama membangun kokohnya kewarganegaraan Republik Indonesia.

Penulis : AH Fatmayanto (Alumni Sosiologi)

Leave a Comment

Your email address will not be published.

You may also like

Hot News

Instagram
WhatsApp
Tiktok
error: Content is protected !!