GUGAT ID, – Memadupadankan pekerja dan pengusaha terlihat seperti sebuah skandal. Bagaimana bisa dua kategori yang berlawanan, dan hanya bermakna bila keduanya dipertentangkan, dilebur menjadi satu. Pikiran manusia yang terbiasa dengan dikotomi tampaknya masih sulit mencernanya. Tetapi itulah realitanya.
Disadari atau tidak, kita telah melihat sebuah perubahan di ranah ketenagakerjaan. Sekarang, beberapa pekerja memiliki karakteristik wirausaha sehingga sulit membedakannya dengan pengusaha.
Pengemudi daring misalnya, bisa mengatur waktu dan durasi kerja sesuka hati. Tidak ada lagi kewajiban delapan jam kerja layaknya pekerja formal. Mereka juga tak harus pergi ke kantor karena model pekerjaan yang dijalani membuat definisi ruang kerja lenyap. Dan satu lagi, pengendara wajib menyiapkan modal sendiri. Pekerja lepas pun begitu. Mereka bebas menentukan kapan waktu kerja asal targetnya tercapai. Secara spasial, freelancer sama sekali tidak mengenal apa itu kantor—mereka bekerja dari jauh (remote). Perihal alat produksi, pekerja lepas juga diminta menyiapkan sendiri.
Pemberian otonomi kepada pekerja, itulah sentral perubahan yang sedang kita saksikan.
Sayangnya, hadiah kebebasan itu ternyata memiliki efek samping. Salah satu dampak yang nyata terlihat adalah transfer tanggung jawab dari perusahaan menuju pekerja. Penyaluran itu termanifestasikan di dalam proses kerja pengemudi daring dan pekerja lepas di atas.
Pertama-tama, dengan tidak relevannya aturan delapan jam kerja, keduanya mesti mengorganisasi dan mengontrol dirinya sendiri agar performanya stabil. Sebab, di akhir cerita mereka tetap mengincar target. Nah, untuk mencapai target tersebut, mereka harus merancang rencana independen, kemudian mengontrol dan mengawasi rencana itu sampai meraih tujuan yang sudah ditetapkan di awal. Dahulu, deretan tupoksi itu adalah tugas seorang manajer dalam sebuah perusahaan. Kini, kerja-kerja organisasional tersebut juga digamit oleh pengemudi daring dan pekerja lepas.
Kedua, pengenalan proposisi mitra memicu ketidakpastian dan risiko yang membuat tanggung jawab pekerja semakin menggelembun. Sistem mitra mengandaikan kesetaraan hubungan antara perusahaan dan tenaga kerja. Pekerja bukan lagi hanya pengguna alat produksi, tapi pemilik dan pengguna sekaligus. Karena memiliki modal usaha sendiri, maka secara interpretatif, pengendara angkutan daring dan pekerja lepas perlu disebut sebagai mitra. Mereka bukan lagi pekerja tapi mitra. Relasi keduanya setara. Karena setara, perusahaan, dengan demikian, boleh mencabut hak-hak dasar driver dan freelancer.
Kala rentetan jaring pengaman sosial dihapus, mitra pada akhirnya harus berswadaya menggunakan dana pribadi untuk beroperasi. Merawat alat produksinya sendiri, membiayai proses produksi sendiri, membayar biaya kecelakaan kerja sendiri. Semua itu dilakukan tanpa campur tangan korporasi.
Dari eksplanasi singkat tersebut kita dapat menarik sebuah kesimpulan sementara: Indonesia sedang menyaksikan munculnya jenis tenaga kerja baru, yaitu pekerja-pengusaha.
Seorang tenaga kerja yang mempunyai modal mandiri, tak terikat pada hierarki, sanggup mengorganisasi, mengontrol, serta merencanakan proses produksinya sendiri, dan bisa merasionalisasi ongkos produksi seperti seorang pengusaha.
Tanda hubung (-) pada frasa “pekerja-pengusaha” menandakan satu kesatuan. Pekerja urung berubah menjadi pengusaha. Mereka tetap menyandang status tenaga kerja namun bekerja layaknya wirausaha. Penyerahan otonomi bukan merupakan tujuan melainkan alat untuk mencapai tujuan.
Di akhir cerita, pengemudi daring dan pekerja lepas sebenarnya masih melayani pengusaha sesungguhnya : pemilik modal.
(Rizqy Fitramadhana)