Menafsir Pemaknaan Presidensialisme Megawati Bagi Presiden Joko Widodo |

Menafsir Pemaknaan Presidensialisme Megawati Bagi Presiden Joko Widodo

By

GUGAT.ID,Belakangan hari ini, Pimpinan Partai Demokrasi Indonesia Perjuanan (PDIP), Megawati menginstruksikan anggota partainya untuk tidak lagi sepakat dengan kata koalisi namun cenderung kerjasama sebagai mareah presidensial.
Instruksi ini menjadi pemicu banyak pihak politisi dan akademisi membahasnya dalam tataran makna kata dan tindakan kedepan (PDIP) tahun 2024.

Artikel ini tidak akan singgung soal persamaan atau perbedaan makna kata secara tata bahasa, karena banyak masyarakat terdidik paham atas hal tersebut.

Namun, disini relatif condong membahas bagaimana pihak-pihak kontingen asal PDIP menjalankan perpolitikan elektabilitasnya di negara yang sudah kadung terpapar kebiasaan koalisi.

Menurut Hein De Haas, berdasarkan penelitiannya tentang pembangunan antar negara berbasis migrasi menyebutkan bahwa negara akan melakukan segala langkah untuk memindahkan orang dan tugasnya sebagai bentuk diplomasi terhadap negara lain.

Selain itu, dia mengutarakan migrasi sebagai bagian pengembangan kapasitas SDM.Koalisi sendiri merupakan bagian interaksi positif yang tidak bisa lepas dari pola/tatanan normatif soal kerjasama.

Sementara, interaksi positif dalam bentuk apapun melahirkan pola baru dari hasil adaptasi dan probabilitas pengamatan untuk tercapainya suatu kepentingan, salah satunya sepakat dengan Haas tentang peningkatan kapasitas.

Pada dasarnya, setiap setting (waktu, tempat dan suasana) menciptaka pola bagi seseorang/entitas untuk beradaptasi dan probabilitas pengamatannya.

Sebagai sebuah negara Demokrasi dengan sistem kepemimpinan presidensial, seluruh kebijakan negara terpusat oleh Presiden dan jajarannya sehingga interaksi positif yang dilakukan oleh Joko Widodo (presiden) atau Megawati bisa jadi sejalan; atau bahkan bersebrangan.

Doubel opinion ini terjadi akibat fakta bahwa, Joko Widodo bagian dari anggota kader PDIP dalam pencalonannya menjadi Walikota Surakarta, Gubernur DKI Jakarta dan Presiden RI.

Namun perlu diingat, interaksi dari pola kaderisasi ini tidak menutup kemungkinan setting yang dihadapi oleh Joko Widodo menjadikannya beradaptasi dan berpengalaman cukup untuk terlepas, sehingga tidak ikut bagian dalam instruksi pimpinan parta yg mengkadernya.

Pokok pikirnya dalam penggunaan argumen Haas, jika seseorang telah berinteraksi positif dengan bertindak migrasi (jabatan), maka hubungan efeknya terjadi peningkatan kapasitas sumberdaya manusia.

Baca Juga: MONSTER BAGI SUMBERDAYA AIR DAN MANUSIA

Efek ini bagi sejumlah pihak dapat dimaknai sebagai meng-iya/tidak-kan instruksi tersebut, sehingga akan sangat lekat dengan perdebatan posisi Joko Widodo sebagai Presiden atau Kader Partai.

Dengan demikian, peluang yang akan terjadi bisa diamati bahwa ada 2 atau lebih, diantaranya:

1) apabila Joko Widodo mengalami pengadaptasian dan probabilitas pengalaman yang cukup sehingga berakibat perubahan dalam memilih keputusan untuk tidak mengindahkan instruksi tersebut, karena dia sebagai nahkoda negara dan entitas didalamnya sebagai warga negara.

2) apabila Joko Widodo memimpin tanpa adaptasi dan pengalaman cukup tentang Presiden dan Kader Partai bisa terjadi kecenderungan memenuhi instruksi pimpinan partanya.

Makna lain adalah, jika peluang pertama terjadi, maka sistem presidensial ditegakan. Namun, jika peluang kedua terjadi, maka sistem kepemimpinan itu “batal” artinya tidak ditegakan dan sudah bisa dicabut oleh warga negara akibat kegagalan sistem.

(Red/Hidayat F.A)

Leave a Comment

Your email address will not be published.

You may also like

Hot News

Instagram
WhatsApp
Tiktok
error: Content is protected !!