Tragedi Kanjuruhan: Refleksi Lapang Dada |

Tragedi Kanjuruhan: Refleksi Lapang Dada

By

Yogyakarta (gugat.id) – Seolah menghantam dinding keakuan dan kepongahan, Tragedi Kanjuruhan mencabik kesadaran. Apa yang terjadi di lapangan sesungguhnya merefleksikan realita kehidupan kebangsaan. Sepakbola, tak dapat dipungkiri, merupakan cabang olahraga yang tidak saja membakar fanatisme rakyat, tetapi juga sekaligus membuka front pertikaian suporter antarklub bahkan antar daerah. 

Entah berapa puluh kasus telah terjadi setelah pertandingan sepakbola usai digelar. Entah berapa ratus suporter harus meregang nyawa usai membela tim kesayangannya. Apakah semua bersumber dari karakter suporter? Rasanya tidak bijak dan jauh dari rasa keadilan jika semua ditumpahkan kepada mereka.

Tak ada yang menyangkal bahwa sepakbola merupakan panggung terbuka yang tidak saja murah meriah bagi rakyat tetapi juga–ini yang sering luput dipahami suporter–menarik masuknya bisnis cuan tetapi juga ajang political game yang strategis.

Dalam bahasa Faris Rusydi Aliyverdana, salah satu pendukung Arema yang juga Wakil Ketua Keluarga Alumni Sejarah UGM, bonus oriented management hanya akan menghasilkan singa-singa sirkus yang bermain layaknya robot: tanpa jiwa.

Sepakbola adalah ruang dimana semua taktik dan strategi kehidupan ditampilkan. Bagaimana cara kapten mengendalikan anak buah, sejauh mana sportitivitas (fair play) digunakan, jika terjadi kesalahan dan pelanggaran bagaimana etikanya, bagaimana keadilan ditegakkan wasit, juga bagaimana sikap pendukung masing-masing tim yang berlaga.

Di balik itu semua, ada pelatih yang merupakan think thank yang tak henti mengolah strategi dan manajerial yang mensuport keseluruhan klub. Tentu, kualitas dan kompetensi setiap pemain juga tak boleh ditinggalkan.

Konfigurasi semua unsur di atas menjadikan sepakbola identik dengan seni kehidupan. Ketekunan dan keseriusan berproses, serta totalitas penuh disiplin selama bertanding akan melahirkan tim yang tangguh dan solid serta tontotan yang indah. Keindahan seni kehidupan akan lahir manakala masing-masing unsur memegang teguh etika dan moralitas yang ditegakkan di atas fondasi skill yang terukur. Konfigurasi akan melahirkan harmoni, bukan anargi dan tragedi.

Pertanyaannya, mengapa pertikaian, kerusuhan, dan tragedi masih saja terjadi?

Realita kehidupan memberi jawaban. Bangsa ini kian sempit hati, tumpul nalar dan susah berlapang dada. Kontestasi politik melahirkan kebencian yang beranak pinak dan seolah sengaja diternakkan. Elite politik gagal menjadi teladan kehidupan dan tetap bermuka badak membela kepentingan kelompok dan kroninya. Kapitalisasi yang menegasikan kemanusiaan dibiarkan bahkan ditumbuh kembangkan. Lupa bahwa dalam hidup, menang kalah itu soal biasa. Lupa bahwa bangsa ini didesain berdasar asas kekeluargaan dengan fondasi apik Bhinneka Tunggal Ika.

Saat tekanan hidup kian menindih, ketika ruang-ruang tegur sapa budaya semakin hilang, sementara elite kekuasaan masih juga asyik dengan agenda-agenda terselubungnya, maka ledakan sosial hanya menunggu waktu.

Tak habis pikir bagaimana suporter diperlakukan seperti demonstran hingga gas air mata harus menyembur di ruang tertutup di lapangan pertandingan. Ada desakan agar siapapun yang terlibat, pemimpin di level manapun, untuk mundur dari kursi kekuasaan yang didudukinya. Itu sebagai bentuk pertanggung jawaban moral. Tetapi mana ada pemimpin kita berani mundur meski sudah nyata terlibat masalah apalagi meminta kurban sebagaimana budaya Jepang? Ojo dibandhingke! Jikapun ada pesan yang hendak disampaikan melalui opini singkat ini adalah, mari memulai berlapang dada.

Mau direkayasa seperti apapun, kodrat hidup adalah beragam dan semua diciptakan berpasang-pasangan. Ada menang dan ada kalah. Lawan dalam olahraga adalah teman dalam berpikir dan beradu strategi. Mari saling mengapresiasi pencapaian orang lain, dan ikuti dengan pembenahan diri, maka hidup akan semakin indah dijalani.

Dengan memberi dan membuka ruang bagi tegur sapa budaya sampil terus mengasah nurani, sesungguhnya merupakan jalan bagi bangsa ini untuk menemukan kembali kepribadiannya yang sempat hilang.

Sebuah bangsa yang ramah dalam kebudayaan, berdaya juang dalam kehidupan, dan unggul dalam peradaban. Sebuah agenda yang kelihatannya mudah dan sepele, tetapi tanpa keteladanan dari diri kita sendiri dan, apalagi, dari para pemimpin bangsa, rasanya akan sulit diwujudkan.


Wahjudi Djaja, Ketum Keluarga Alumni Sejarah Gadjah Mada (Kasagama)


Leave a Comment

Your email address will not be published.

You may also like

Hot News

Instagram
WhatsApp
Tiktok
error: Content is protected !!