GUGAT ID, – Gagasan penundaan pemilihan umum (Pemilu) 2024 sebagai ekspresi dari kelompok kepentingan dalam kekuasaan yang ingin memuaskan syahwat politik dan terus menikmati candu kekuasaan. Tidak ada alasan yang signifikan mengesahkan gagasan penundaan sebagai keputusan politik.Apabila dipaksakan, ini justru menghancurkan demokrasi dan ekonomi nasional.
“Gagasan penundaan pemilu itu hanya akal-akalan dan itu mencerminkan ada defisit moral dari para pemimpin yang menghendaki hal tersebut,” kata Rektor Universitas Widya Mataram (UWM) Prof. Dr.Edy Suandi Hamid, M.Ec, Kamis (17/3/2022).
Pernyataannya disampaikan dalam Webinar tentang Pro-Kontra Penundan Pemilu 2024, Siapa Untung? Kegiatan ini diselengggaran secara kolaborasi antara UWM dan Universitas Muhammadiyah (UM) Metro, Lampung. Pembicara lain dalam panel tersebut dosen Fakultas Hukum UM Metro Dr. Betha Rahmasari, S.H, M.H.Hum, dan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) UWM Dr. AS Martadani Noor, MA.
Prof Edy Suandi Hamid menyatakan, menggagas penundaan pemilu yang didasarkan kepentingan jangka pendek harus dijauhi, dihindari dalam alam demokrasi yang berasas Pancasila, yang menjalankan politik berbasis ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan atau politik adilihung (high politic).
“Ketika memaksakan pemilu harus ditunda itu menjadi pendidikan politik yang buruk dan menjadi ancaman demokrasi serta ekonomi,” kata dia.
Apabila dikaitkan situasi nasional sedang sulit keadaan sosial dan ekonomi akibat pandemi Covid-19, menurut dia, kondisi saat ini jauh lebih baik dengan saat krisis ekonomi 1998, 1999, dan 2008.
Walaupun ekonomi terpuruk oleh pandemi, situasinya telah membaik dan posisi ekonomi nasional sedang menuju pertumbuhan yang sustain dan secara berangsur-angsur dimungkinkan akan menuju ekonomi yang lebih kuat pada tahun 2022 ini. Indikatornya, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2021 sudah bertahap membaik dibandingkan tahun sebelumnya.
“Saya berpandangan bahwa motif alasan ekonomi tidak begitu relevan jika dikaitkan dengan penundaan pemilu, karena ekonomi Indonesia sedang tumbuh dan membaik. Apabila disahkan gagasan penundaan itu justru kontra produktif, justru ini menjadi pemicu kekhawatiran terjadinya instabilitas nasional dan menimbulkan kontroversi di berbagai pihak sehingga mengganggu ekonomi nasional,” kata dia.
Dia menegaskan, penundaan pemilu menciptakan ketidakstabilan politik yang dapat menganggu ekonomi Indonesia.
“Ketidakstabilan menimbulkan kontraksi ekonomi. Menunda dan merekayasa pemilu bisa mengganggu ekonomi nasional kelak dikemudian hari,”
Terdapat peluang merealiasaikan penundaan pemilu dengan amandemen UUD 1945.Tetapi itu ongkosnya mahal. Alasan ekonomi sedang tidak baik-baik saja, kata Prof Edy Suandi Hamid, itu tidak logis dan irasional.
“Investor justru akan khawatir kalau konstitusi puncak (UUD) gampang diubah oleh vested interest group, bagaimana dengan undang-undang, peraturan daerah? Apalagi situasi nasional saat ini lebih baik dibanding Pemilu 1998, 1999, 2008. Jika kita lihat pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah tumbuh pada 3.69 pada 2021, dan 2022 Pemerintah pun menargetkan laju pertumbuhan ekonomi 5,2% (APBN). Ini menggambarkan ekonomi sudah on the track, tak berbeda dengan banyak negara lain.” pungkas prof Edy.
Korsel dan Singapura
Rektor UM Metro Lampung Jazim Ahmad, M.Pd menjelaskan terdapat insiden penundaan maupun pelaksanaan pemilu selama pandemic Covid-19. Negara-negara yang menunda pemilu berdasarkan data dari International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) adalah Selandia Baru, Hong Kong, dan Bolivia.
Mereka menjadikan pandemi menjadi dasar alasan menunda pelaksanaan pemilu. Alasan lainnya, belum ada penelitian dampak pandemi Covid-19 terhadap ketahanan kesehatan masyarakat pada waktu itu.
“Alasan kemanusiaan atau hak asasi bahwa langkah penundaan pemilu diambil sebagai upaya untuk melindungi nyawa manusia oleh pemerintah Selandia Baru, Hong Kong, dan Bolivia,” ujar dia dalam pidato pembukaan webinar.
Sedang negara yang tetap melaksanakan pemilu di tengah pandemic adalah Korea Selatan dan Singapura.
“Di tengah tingginya peningkatan kasus Covid-19 saat itu, Korea Selatan dan Singapura tetap melakukan pemilu. Keberhasilan serupa juga terjadi di Indonesia saat melaksanakan pilkada di 270 daerah pada tahun 2020, saat itu pandemi sedang dalam puncak. Kalau mengacu pengalaman negara lain dan negeri sendiri, maka perlu dipikirkan secara mendalam, apakah penundaan pemilu 2024 terdapat alasan yang kuat?, ” imbuh Rektor UMM.
(Redaksi)