GUGAT ID, – Sejak menjadi perbincangan hangat, metaverse berhasil membuka sekaligus menyilap mata banyak orang. Ia mencerahkan sebab memungkinkan manusia melangkahi ketidakmungkinan, menutup pandangan karena kehadirannya ternyata membawa kelindan mimpi buruk.
Salah satu dekadensi metaverse yang paling ditakutkan adalah meleburnya batas antara yang nyata dan maya. Bagi beberapa orang, kehadiran metaverse diklaim bakal mengganggu stabilitas pembagian teritori tersebut.
Kekhawatiran itu cukup berasalan. Saat mempresentasikan potensi wilayah operasi metaverse, Mark Zuckerberg menyampaikan bahwa ruang virtual kemungkinan akan mencaplok sebagian besar domain kehidupan riil. Pada tahap awal, metaverse diproyeksikan mengkooptasi arena-arena masif seperti hiburan, gaming, olahraga, pekerjaan, pendidikan, dan perdagangan.
Sejauh ini bukti di lapangan menunjukkan perkembangan yang signifikan. Orang berbondong-bondong bereksperimen dengan metaverse.
Traci Lewis dan Dave Gagnon, misalnya, melangsungkan pernikahan virtual yang diselenggarakan oleh Virbela—sebuah perusahaan nun berfokus pada pembangunan lingkungan metaverse untuk dunia kerja, aktivitas belajar mengejar, dan acara. Decentraland (MANA) berencana menghelat ajang pekan fashion pertama di metaverse. Balenciaga menggamit Fortnite untuk membuat pakaian di metaverse. Gucci, bekerja sama dengan Roblox telah menyelenggarakan pameran instalasi seni virtual. Coca-Cola menggandeng Tafi menciptakan “loot boxes” yang berisi banyak NFT.
Serangkaian peristiwa tersebut menjadi sebuah pertanda mengenai kemuskilan membendung laju metaverse. Kala metaverse tumbuh secara drastis, kontrol terhadap batas operasi metaverse mungkin bakal sulit dilakukan. Meskipun begitu, bukan berarti batas itu tidak bisa diatur sedemikian rupa.
Batas bukan merupakan realitas yang a priori. Definisi, identifikasi, dan validitas akan batas lahir berkat perjuangan tanpa henti. Dalam konteks metaverse, batas yang nyata dan maya bakal menjadi objek pertempuran antara mereka yang menghendaki ekspansi metaverse serta mereka yang menginginkan tertancapnya tapal batas wilayah operasinya.
Proponen metaverse bisa jadi menggunakan modalitas kekuasaan yang mereka punya untuk menarik batas nun lebih luas.
Sementara itu, penantangnya menggalakkan advokasi, demonstrasi, lobi politik guna memperjuangkan keinginannya. Keduanya sama-sama mendayagunakan sumber daya untuk menjustifikasi sampai mana metaverse sanggup menancapkan pengaruhnya.
Mengapa begitu? Sebab apabila salah satu diantara mereka sanggup membubuhkan definisi, identifikasi, serta memberi legitimasi tentang batas operasi metaverse maka dialah pemenang dari pertandingan ini. Penentuan batas operasi metaverse, dengan demikian, merupakan bagian struggle with and for power.
(rizqy/red)