Mengais Kesejahteraan di Tikungan Tajam Wisata Pesisir Karst Gunungkidul |

Mengais Kesejahteraan di Tikungan Tajam Wisata Pesisir Karst Gunungkidul

By

GUNUNGKIDUL, gugat.id – Jalanan curam, sempit, dan penuh kelokan tajam telah menjadi bagian dari eksotisme wisata pesisir di Gunungkidul. Sensasi berkendara menuju pantai-pantai berpasir putih di kawasan karst ini tak jarang memikat wisatawan perkotaan, bahkan dianggap tak kalah memesona dari pantai-pantai di Bali. Namun, di balik panorama alam yang menakjubkan itu, tersimpan potret buram pengelolaan wisata dan nasib pekerja lokal yang luput dari sorotan.

Kawasan pesisir karst Gunungsewu memang menyuguhkan keindahan fisik yang khas. Hamparan batuan karang berpadu dengan ladang jagung dan tembakau milik warga, berpagar bukit yang menjulang dan jalan yang menantang. Sayangnya, keindahan ini belum sepenuhnya diimbangi oleh pembangunan sarana dan prasarana yang memadai. Ketimpangan terlihat jelas di jalanan yang bergelombang, sebagian besar masih berupa cor blok kasar dan batuan alam yang sulit dilalui, terutama bagi kendaraan wisatawan.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana masyarakat lokal memperoleh manfaat dari geliat pariwisata yang tampaknya hanya menyentuh permukaan? Minimnya pemerataan pembangunan membuat sebagian warga memilih jalan pintas untuk turut “mengelola” jalur wisata, terutama di Pantai Ngrenehan, Kalurahan Kanigoro, Kapanewon Saptosari.

Di sejumlah titik rawan kecelakaan—tanjakan, turunan curam, dan kelokan tajam—pengunjung akan menjumpai komunitas rompi oranye dan hijau. Mereka bukan petugas resmi, tetapi warga lokal yang secara sukarela (dan juga mencari penghasilan) membantu mengatur lalu lintas, terutama saat musim libur dan lonjakan pengunjung. Kehadiran mereka tak lepas dari kenyataan bahwa aksesibilitas menuju Pantai Ngrenehan jauh lebih sulit dibandingkan dengan pantai-pantai di sisi timur Gunungkidul.

Meski pemerintah kalurahan dan Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS) telah menghimbau agar pengunjung menggunakan kendaraan pribadi, kenyataannya kendaraan umum masih mendominasi. Kepadatan lalu lintas dan minimnya pengelolaan keselamatan membuat peran komunitas lokal ini semakin dibutuhkan.

Namun ironi muncul. Keberadaan mereka justru kerap dipandang sebelah mata. Hanya karena tidak berada dalam struktur formal, mereka dicap sebagai “pak ogah”—istilah yang merujuk pada peminta pungutan tak resmi di jalanan. “Aktivitas pungutan tersebut, mereka klaim sebagai individu-individu ‘pak ogah’,” ungkap seorang petugas retribusi yang penulis wawancarai di lokasi.

Pemerintah pusat melalui Kementerian Pariwisata telah berulang kali menekankan pentingnya menciptakan pariwisata yang nyaman, aman, bersih, dan berkelanjutan. “Himbauan ini,” tulis penulis, “sering kali hanya dimaknai secara simplistik oleh masyarakat lokal sebagai peluang mengais recehan di titik-titik rawan kecelakaan.”

Padahal, realitas di lapangan menunjukkan bahwa peran komunitas informal ini berkontribusi besar terhadap keselamatan pengunjung, walau dengan status yang serba tak jelas. Tanpa pelatihan, tanpa perlindungan hukum, bahkan seringkali tanpa penghargaan.

Baca juga: https://www.gugat.id/gunungkidul-raih-wtp-ke-10-kali-berturut-bukti-komitmen-tata-kelola-keuangan-yang-konsisten/

Maka dari itu, penting untuk memikirkan ulang struktur pengelolaan wisata pesisir, khususnya dalam konteks partisipasi masyarakat lokal. Integrasi komunitas ini ke dalam sistem pengelolaan resmi semestinya bukan lagi sebuah pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. Dengan pendekatan yang terstruktur, mereka dapat difasilitasi dalam pelatihan keselamatan, diberikan identitas resmi, dan dilibatkan dalam sistem ticketing dan retribusi yang transparan.

“Peminimalisir stigma itu pula menjadi pemicu untuk diadakannya standar kesejahteraan masyarakat lokal dan garansi wisatawan di kawasan pariwisata,” tulis penulis. Sebuah catatan penting yang menegaskan bahwa pembangunan pariwisata semestinya tak hanya mengandalkan keindahan alam, tetapi juga harus adil bagi para penjaga senyap di balik liku-liku jalan menuju surga pesisir.

Penulis: Ali Hidayat
(Alumni Sosiologi UGM)

Leave a Comment

Your email address will not be published.

You may also like

Hot News

Instagram
WhatsApp
Tiktok
error: Content is protected !!