Di dalam sistem pendidikan Finlandia, kita tidakakan menemui standardisasi yang berlaku secara universal bagi murid maupun guru. Khusus untuk subjek didik, mereka tidak diwajibkan mengikuti tes tertulis. Satu pengecualian hanyalah Ujian Matrikulasi Nasional, itupun bersifat sukarela untuk murid Sekolah Menengah Atas (SMA). Bergeser ke tenaga pendidik, mereka tidak diharuskan menjalani asesmen guru. Bagi sebagian besar pemimpin pendidikan di Finlandia, profesi guru tidak boleh dipahami sebagai pekerjaan teknis yang menjemukan.
Guru harus diberkahi otonomi penuh yang mampu membuat mereka mengeluarkan kemampuan terbaik dan mengeksplorasi kreativitas. Keberhasilan pendidikan malah berasal dari profesionalisasi guru dan kepemimpinan sekolah yang berjalan via pengembangan pendidikan akademik, pengetahuan praktis serta pelatatihan berkelanjutan.
Lalu bagaimana mereka meyakinkan orang tua dan siswa bahwa pembelajaran yang dilakukan benar-benar efektif dan efisien? Dengan melihat secara individual performa siswa dalam pertemuan sehari-hari.
Paradigma pendidikan Finlandia meyakini kalau pembelajaran mesti berdiri di atas asas penghargaan terhadap kreativitas dan keunikan setiap anak. Oleh sebab itu, Kementrian Pendidikan Finlandia memutuskan untuk meniadakan ujian yang berasal dari pihak eksternal.
Keputusan penilaian diserahkan kepada sekolah dan guru. Itu dilakukan karena guru dinilai lebih mengetahui secara persis kemampuan siswa ketimbang entitas luar.
Lebih lanjut, bertolak belakang dengan resep privatisasi Gerakan Reformasi Pendidikan, lompatan besar pendidikan Finlandia justru didorong oleh dana publik. Kalau dihitung-hitung, dana publik berkontribusi sebesar 98 persen dibanding 2 persen dari sumbangan privat.
Sejak awal, masyarakat Finlandia telah bersabda bahwa sistem pendidikan dan sekolah tidak seharusnya diurus layaknya korporasi bisnis yang mengagungkan kompetisi, akuntabilitas berbasis pengukuran, dan pembiayaan berdasar performa. Bertentangan dengan prinsip pasar bebas, pendidikan Finlandia lebih menjunjung tinggi kolaborasi dan rasa percaya.
Hal itu tentu menjadi anomali tersendiri, terlebih ketika banyak lembaga internasional sering mengkampanyekan privatisasi pendidikan. Di tengah rezim kebenaran bahwa logika pasar dapat meningkatkan pelayanan publik, apa yang terjadi di Finlandia membuktikan sekali lagi kalau masih ada alternatif lain selain mengikuti perintah privatisasi pendidikan.
Oleh : Rizkiansyah Fitramadhana
Mahasiswa S1 Sosiologi UGM