GUGAT.ID – Serasa kembali membaca berita “pandemi”, sekitar 0,013% dari total 1jt-an jumlah penduduk malang meninggal dunia dalam sehari setelah menonton sepak bola malang vs surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.
Sebagai warga jogja yang sering mendengar perseteruan pendukung fanatisme Sleman dan Kota Yogyakarta dalam pertandingan sepakbola, kaget ada fakta sebanyak 130 orang meninggal dunia akibat tindakan kekerasan setelah menyaksikan pertandingan arema fc vs persebaya, dengan klasifikasi tempat kejadian perkara yang terdiri dari tiga tempat, meliputi: Dalam Stadion, Perjalanan menuju Rumah Sakit, dan Penanganan di Rumah Sakit. Banyak korban berjatuhan akibat beberapa faktor, melalui ulasan media sosial (twitter), diantaranya: terinjak, terhimpit, terpukul dan teracuni gas air mata.
Sehari setelah kejadian ini, banyak postingan media sosial dari korban selamat hingga keluarga korban trending di dunia maya.
Penggunaan hashtage dari pengguna medsos mulai menjadi tranding topik, mulai dari tanda pagar (#) Kanjuruan, FIFA, Bonek, Arema, hingga Gas Air Mata dalam unggahan deskripsi, video dan foto kronologi kejadian.
Seperti dentikan jari, wilayah Malang langsung berkabung dan bernuansa bendera kuning di beberapa kecamatannya. Kesibukan semakin menjadi, dari mulai persiapan pemakaman gugurnya sejumlah aparatus keamanan (polisi) hingga tidak sedikit warga yang diteliti beridentitas dari wilayah malang. Apakah kejadian ini memiliki intepretasi atau pemahaman spesifik soal jaminan kemanan dan kenyamanan di dunia hiburan sepak bola? Apakah korban tindak pidana kekerasan dapat dijamin pelayanan bantuan kesehatan? Entah ditanggapi dengan saling menundukan hati atau semakin membusungkan dada atas kejadian ini.
Jaminan atas keamanan dan kenyamanan warga negara seakan tidak kunjung diperbaiki dalam berbagai kegiatan berlaga besar, seperti aksi demonstran, pendukung dan penonton sepak bola, rapat perebutan keputusan Dewan wakil rakyat, hingga benturan-benturan lain yang memiliki ketimpangan penanganan atau berbeda satu dengan lainnya.
Setidaknya ini sebagai gambaran, bahwa perlu tindakan minimalisir dari aparat kebijakan melakukan sinkronisasi atas peraturan dan penegakan di ruang publik, misal dalam kasus per-sepakbola-an di Indonesia.
Salah satunya tindak pidana kekerasan sebagai sesuatu yang harus dihadapi secara elegan, namun tidak sedikit dengan jaminan kesehatan yang ada tindakan ini berujung kematian. Karena satu dari berbagai faktor adalah, adanya dugaan dalam Perpres 82/2018 tentang jaminan kesehatan menyatakan bahwa korban tindak kekerasan yang dinyatakan terbukti, tidak mendapatkan hak jaminan pembayaran medis dari BPJS.
Kemungkinan itu pun terwadahu dari respon Gubernur Jatim kepada korban meninggal dunia yang mungkin tidak terlayani dengan maksimal dengan rencana pemberian santunan sebesar 10jt untuk pemakaman, selain itu Polri mengerahkan tim DVI sebagai tindaklanjut kematian masal.
Selayaknya sebagai negeri berdasar Pancasila, bahwa moral bangsa terkait perikemanusiaan seharusnya disosialisasikan secara serius.
Semaksimal mungkin adanya pemberitahuan soal jaminan kesehatan yang jelas bagi warga negara dengan berbagai “kelas” agar menjadi pertimbangan bersama dalam melakukan dan memikirkan beberapa efek dari tindakan penanggulangan dan akses jaminan kesehatan.
(Ali hidayat)