Tayub Gunungkidul: Tradisi yang Tak Butuh Pujian, Tapi Kepedulian |

Tayub Gunungkidul: Tradisi yang Tak Butuh Pujian, Tapi Kepedulian

By

Gunungkidul, gugat.id – Di tengah gegap gempita budaya pop dan konten digital yang menenggelamkan layar ponsel, ada kesunyian yang mulai terdengar jelas di tanah sendiri, kesenian Tayub di Gunungkidul. Pernah hidup sebagai jantung kebudayaan masyarakat pedesaan, Tayub kini pelan-pelan kehilangan panggung, penonton, dan pengayomnya.

Tayub bukan sekadar pertunjukan tari. Ia adalah ruang sosial tempat warga berkumpul, berbagi syukur, dan merawat harmoni desa. Di Gunungkidul, terutama di wilayah seperti Semin, Semanu, Rongkop, hingga Gedangsari, Tayub dahulu menjadi penanda peristiwa penting dari hajatan besar hingga merti desa. Namun kini, suara gamelan terdengar semakin jarang, dan bahkan para penarinya menua dalam diam.

Tentu, perubahan zaman tak bisa dihindari. Namun Tayub seolah tidak diberi ruang untuk ikut bergerak bersama zaman. Ia ditinggalkan tanpa pembaruan, tanpa strategi regenerasi, tanpa pendampingan. Yang tersisa hanyalah penampilan sesekali untuk “festival budaya” atau kebutuhan seremonial yang dangkal seolah cukup menjadi simbol, tanpa ruh.

Lebih menyedihkan lagi, sebagian masyarakat dan bahkan mungkin pemangku kebijakan masih memandang Tayub dari lensa sempit. Label “sensual”, “klenik”, atau bahkan “tidak pantas” masih melekat tanpa konteks. Padahal Tayub mengajarkan banyak hal: sopan santun, ketekunan seni, harmoni sosial, hingga spiritualitas lokal yang sarat makna.

Di tengah keterasingan itu, secercah harapan muncul dari arah yang tak terduga: generasi muda. Beberapa pemuda dan pelajar di desa mulai tertarik mempelajari Tayub. Mereka merekam latihan, membuat konten dokumenter sederhana, bahkan belajar langsung dari penari dan pengrawit yang masih tersisa. Tapi semangat itu tak bisa berjalan sendiri.

Di sinilah seharusnya peran pemerintah daerah Gunungkidul tidak lagi pasif. Sudah saatnya bicara pelestarian budaya tidak hanya di ruang seminar atau saat pengesahan “warisan budaya tak benda”, tapi diwujudkan dalam bentuk nyata: fasilitasi ruang latihan, pendanaan program seni rutin, penguatan edukasi kesenian lokal di sekolah, dan tentu saja pengakuan terhadap pelaku seni tradisi sebagai bagian penting dari wajah daerah.

Tayub tidak butuh panggung mewah. Ia butuh keberpihakan. Karena jika bukan kita warga dan pemangku kebijakan Gunungkidul sendiri lalu siapa lagi yang akan menjaga denyut tradisi ini tetap hidup?

Sebelum semua hanya tinggal dokumentasi, masih ada waktu untuk menghidupkannya kembali. Dan itu tidak cukup hanya dengan pujian. Dibutuhkan keberanian untuk peduli, dan keseriusan untuk bertindak.

(Red/ v3)

Leave a Comment

Your email address will not be published.

You may also like

Hot News

Instagram
WhatsApp
Tiktok
error: Content is protected !!