Antara Harapan dan Realitas Pendidikan: Sebuah Kontradiksi
GUGAT.ID – Empat tahun sebelum pemerintahannya berakhir, Soeharto menetapkan kebijakan pendidikan yang tidak biasa. Tepat pada tahun 1994, Kementrian Pendidikan meluncurkan program Kurikulum Muatan Lokal. Program ini menuntut semua sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) mengalokasikan dua puluh persen dari semua waktu pembelajaran untuk materi lokal. Bersamaan dengan tuntutan tersebut, pengaturan terhadap sebagian urusan kurikulum berpindah dari pemerintah pusat menuju sekolah. Salah satu yang kemudian mendapat mandat paling besar adalah guru. Dalam sekejap mata, guru memegang tanggung jawab dan kekuasaan lebih atas pembuatan dan implementasi kurikulum.
Christopher Bjork, melalui bukunya berjudul Indonesian Education: Teachers, Schools, and Central Bureaucracy, ingin mencari tahu apa yang terjadi ketika guru di Indonesia diberi kekuasaan. Agar dapat melihat realitas secara lebih intim, Bjork menggunakan metode etnografi. Studi etnografinya dikerjakan di enam SMP di Malang, Jawa Timur selama lima sampai delapan pekan. Untuk mendapatkan data yang maksimal, Bjork mencoba masuk ke dalam kelas, mengamati bagaimana guru mengajar anak didiknya (hal. 22). Dia juga mengikuti ritual rutin upacara bendera atau acara topikal seperti perayaan ulang tahun sekolah. Pada beberapa kesempatan, Bjork bahkan ikut ambil bagian dalam agenda olahraga dan liburan para guru.
Upaya Bjork membuntuti segala aktivitas guru di Malang membuahkan hasil yang sangat menarik. Setelah melakukan fieldwork bersama para pendidik, Bjork menemukan bahwa guru yang diharapkan mampu mengambil peran malah menampik kesempatan baru tersebut. Alih-alih memanfaatkan otoritas untuk menciptakan inovasi model pengajaran atau membuat instruksi pembelajaran yang sesuai dengan konteks lokal, kebanyakan dari mereka justru lebih nyaman menghabiskan waktu berbincang dengan teman sejawat atau berkegiatan di lingkungan sosial rumah (hal. 89).
Menurut Bjork, salah satu hal yang membuat guru tidak terlalu antusias terhadap tugas baru itu adalah sistem pendidikan Orde Baru. Sejak berkuasa, rezim Orde Baru selalu mewanti-wanti bahwa tujuan pendidikan adalah menjaga integrasi dan kohesi nasional (hal. 88). Dalam kerangka tujuan itu, guru berperan sebagai penyambung lidah pemerintah pusat. Artinya, tanggung jawab guru hanya terbatas pada satu tugas pokok: menyampaikan apa yang pemerintah ingin utarakan kepada peserta didik. Guru tidak diperkenankan membuat inovasi atau menyumbangkan pemikiran terhadap konten pembelajaran. Siapa pun yang sengaja menambah item kurikulum tanpa perintah akan dihukum, sementara mereka yang patuh dan loyal bakal mendapat apresiasi dan penghargaan dalam berbagai bentuk.
Sistem pendidikan yang lebih menghargai kepatuhan dan loyalitas pada akhirnya membuat guru berpikir ulang untuk menerima otoritas baru. Terbiasa dengan pendekatan top-down, guru yang menjadi subjek penelitian Bjork sama sekali tidak memiliki inisiatif, kreativitas, serta sifat kepemimpinan yang dibutuhkan program Kurikulum Muatan Lokal (hal. 84). Absennya perangai dasar tersebut menyebabkan program Kurikulum Muatan Lokal tidak berjalan lancar. Guru SMP yang diwawancacari Bjork, misalnya, tidak melakukan modifikasi kurikulum seperti yang diharapkan. Dalam aspek praktik instruksi dan partisipasi komunitas, hal serupa juga terjadi: guru kurang berhasil untuk mengembangkan model pengajaran serta belum bisa merekatkan hubungan antara sekolah dan orang tua siswa.
Menyusuri Kelas-Kelas, Menemukan Realitas Terdalam: Ketika Etnografi Bertemu Kajian Pendidikan
Salah satu hal yang menarik untuk diulas dari buku Bjork adalah penggunaan etnografi sebagai metode penelitian. Berlawanan dengan kajian pendidikan di Indonesia sebelumnya, Bjork memilih bergumul bersama informan penelitiannya daripada berpretensi menjaga jarak (hal. 7). Hasilnya, dia sukses mendapatkan data dan argumentasi yang amat kaya.
Melalui studi etnografinya, Bjork mampu menjelaskan secara detail bagaimana reaksi guru SMP terhadap ekspektasi, kesempatan, dan tantangan kebijakan desentralisasi pendidikan (hal.9). Dalam bukunya, dia berargumen bahwa guru ternyata tidak terlalu antusias menyambut kebijakan tersebut karena sistem pendidikan Orde Baru sudah terlalu melekat dalam kehidupan professional mereka.
Kurangnya antusiasme tersebut, menurut Bjork, bukan sepenuhnya salah sang guru. Perilaku patuh dan loyal yang menghambat jalannya program pada dasarnya berasal dari permasalahan struktural, bukan kesalahan individual. Pada bab empat, Bjork menjabarkan lintasan sejarah kebijakan pendidikan yang sangat berpengaruh kepada identitas dan tanggung jawab guru. Periode Orde Baru yang mewajibkan guru menjadi katalisator perintah mengakibatkan mereka kurang bisa mengembangkan kemampuan imajinatifnya.
Bab selanjutnya, yaitu bab lima, membeberkan dua perbedaan mencolok antara pembuat kebijakan (teknokrat) dan guru. Keduanya, menyitir Bjork, mempunyai dua dunia yang berbeda. Teknokrat, di satu sisi, bekerja di lingkungan yang relatif dinamis. Mereka sering mengikuti konferensi dan rutin bertemu dengan ahli sehingga paham betul tentang isu pendidikan terbaru. Sementara itu, guru seperti terkurung di dalam sebuah miniatur penjara bernama sekolah; tidak boleh melakukan kreasi dan tidak memiliki wadah bertukar pikiran. Dua dunia yang berbeda ini lalu melahirkan jurang pemisah antara keduanya. Hadirnya jarak itu menyebabkan teknokrat gagal memahami konteks dan akhirnya membuat target yang sulit dicapai oleh sasaran program yaitu guru.
Terakhir, di bab enam, Bjork mengudar keterikatan guru dengan sistem dan budaya pendidikan yang selama ini mereka jalani. Melalui pengamatannya di enam SMP di Malang, Bjork menyimpulkan bahwa penghargaan dan sanksi yang ditawarkan kepada guru, pola komunikasi, acara-acara sekolah, dan prosedur evaluasi mendorong guru untuk menampilkan nilai dan perilaku yang justru bertentangan dengan tujuan program Kurikulum Muatan Lokal (hal. 84).
Secara keseluruhan, lewat studi etnografinya, Bjork berhasil menunjukkan bahwa pendidikan merupakan isu yang bersifat struktural, bukan individual. Jalan atau mandeknya sebuah program pendidikan lebih ditentukan oleh sistem ketimbang performa individu.
Apakah Guru Memang Didengar? (Implikasi Bagi Dunia Akademik dan Publik)
Guru sering berbicara menyuarakan pendapat mereka. Setiap tahun, mereka tak henti-henti mempertanyakan kebijakan pendidikan seperti nasib guru honorer, pergantian kurikulum, sistem zonasi. Pertanyaannya, apakah guru memang benar-benar didengar?
Kalau membaca buku Bjork, jawabannya adalah tidak. Dalam proses perumusan program Kurikulum Muatan Lokal, guru yang menjadi subjek jarang diajak berdiskusi. Teknis, implementasi, dan parameter telah ditentukan terlebih dahulu oleh teknokrat. Sayangnya, teknokrat penyusun program terkadang kurang memahami konteks lokal yang dihadapi guru. Akibatnya, program yang diharapkan dapat mengubah wajah pendidikan Indonesia malah memperunyam keadaan.
Bagi dunia akademik maupun publik, studi Bjork perihal program Kurikulum Muatan Lokal menyingkap sebuah realitas lama yang belum tertangani dengan baik bahkan hingga saat ini: keterlibatan guru dalam proses kebijakan. Kenyataan bahwa pembuat kebijakan tidak mengetahui secara pasti kondisi lokal menuntut partisipasi pendidik dalam proses perumusan kebijakan pendidikan. Sayangnya, hal itu tidak terjadi. Melihat ke masa depan, pembuat kebijakan mesti memberi ruang kepada sang pendidik, mendengarkan saran serta keluh kesah mereka, dan memperhitungkan suara mereka di setiap tahap proses kebijakan. Dengan begitu, guru yang selama ini terkesan menjadi objek dapat bertransformasi menjadi subjek. Dia tak lagi berada di tepian, tapi berpindah ke titik sentral.
Penulis : Rizkiansyah Fitramadhana. S.Sos
Christopher Bjork. 2005. Indonesian Education: Teachers, Schools, and Central Bureaucracy. New York. Routledge.