GUGAT.ID (Yogyakarta) – Kelebat seorang lelaki paruh baya, berkendara sepeda motor, melintas kelokan jalan beton yang mengular naik menuju gigir pegunungan yang hijau-legam. Sesaat kemudian muncul empat sosok taruna bergantian menjajal kekokohan gaya kuda-kudanya masing-masing.
Sayup-sayup alunan backsound pentatonis, “gamelan synth”, merambat ritmis mengiringi “gladen” silat pemuda desa itu. Celoteh dan gelak tawa sesekali pecah, menimpa alunan “beat metallophone” dalam nada crescendo. Sautan bunyi melodi “china flute” melengking dan mendinamisir alunan musik oriental bergaya balada yang nostalgis a la film-film “Shaolin Kung Fu”.
Seorang taruna memasang posisi kuda-kuda, tiga orang lainnya, satu per satu mencoba naik dan menginjakkan kakinya di atas kedua lutut dari sisi belakang. “Tegak.. Tegak.. Yang kuat.. Yang kuat… Siap… Yoo..” kata seorang dari mereka. “Ha..ha.. ha..” gelak tawa mereka pun pecah saat pemeraga gaya kuda-kuda tak sanggup menopang beban tubuh temannya yang mencoba berdiri di atasnya.
Dinamisnya alunan musik oriental semakin mendramatisasi “shot” demi “shot” dalam “scene” lanskap masyarakat petani pegunungan. Dari sudut mata elang, rana kamera menukik di keluasan hamparan hijau pegunungan yang kontras dengan sisi lembahnya yang hijau-kegelapan. Dari arah ketinggian, mata kamera terus bergerak mengitari sumber air panas yang bergulungan menyerupai awan cumulus.
Di sela gerak kamera yang mengeskpos berbagai sisi keindahan dari sehamparan luas kawasan pegunungan itu, baris demi baris teks pendek muncul silih berganti menjadi narasi pembuka… “Lima puluh persen (50%) petani di Indonesia adalah petani gurem”, “luas lahan garapan kurang dari 0,5 hektar…” dan seterusnya.

Itulah nukilan awal dari film dokumenter berjudul “SILAT TANI” besutan sutradara kesohor, Dandhy Dwi Laksono. Film dokumenter perdana dari Ekspedisi Indonesia Baru berdurasikan 73 menit ini ditayangkan dan didiskusikan pertama kali di Pendopo GUSDURian, Jl. Sorowajan, Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta pada Jumat, 22 Juli 2022, pukul 19.00-22.00 WIB.
Kiprah Dua Petani cum Jurnalis
Adalah Jon Ali, mantan jurnalis di Jakarta yang terpaksa pulang kampung di Dusun Kelurahan, Desa Kadipaten, Kecamatan Selomerto, Kabupaten Wonosobo. Paska perusahaan medianya bubar, Ali terpaksa beralih profesi menjadi petani seperti yang digeluti sekian lama oleh ayah dan ibunya.
Perjumpaannya dengan jurnalis kawakan, peliput perang Bosnia dan konflik Palestina serta perintis Ekspedisi Jamrud Katulistiwa, Farid Gaban, semakin mematangkan tekad Ali.
Sama-sama terlahir di Wonosobo, dua jurnalis beda generasi ini pun bermufakat pulang kampung untuk beralih profesi menjadi petani sekaligus memulai “petualangan” guna menginvestigasi rupa-rupa kompleksitas persoalan hidup dan penghidupan para petani gurem di sejumlah wilayah yang terpapar paham “pembangunanisme”, untuk mengejar “pertumbuhan ekonomi” setinggi-tingginya, seolah tanpa kenal batas.Melalui dua sosok warga desa “anyaran” inilah, film dokumenter ini mendapati tulang punggung dan kerangka narasi yang sangat kokoh untuk menyampaikan liputan gambar-gambar otentik dari berbagai belahan sudut-sudut desa yang tengah dirundung konflik laten dengan negara yang disetir oleh para elit bisnis partikelir-“blegedu”.
Melalui investigasi-terlibat, keduanya menyingkap satu demi satu fakta hidup dan penghidupan para petani yang bertubi tercabik-cabik oleh ketidakadilan dari sistem dan para aparatus fundamentalisme pasar yang bengis.
Investigasi bermula dari buruh informal perkotaan yang mengonsumsi beras murah di pasaran. Berpencaran, keduanya jalan sendiri-sendiri mencari dan membandingkan harga beras dari berbagai varietas padi yang di jual di pasaran. Hasil investigasi mereka berhasil menyingkap sebuah realitas yang getir, bahwa murahnya harga pangan di perkotaan adalah karena petani gurem dengan lahan pertanian yang sangat sempit (pertanian keluarga) lah yang melakukan subsidi kebutuhan warga di wilayah perkotaan.
Penghancuran Ruang Hidup dan Penghidupan Petani
Rendahnya harga gabah, di kisaran Rp. 4.300,-/kg yang dilipatgandakan keuntungannya oleh para tengkulak yang menjual beras hingga Rp. 11.000,-, hanyalah entry point awal menuju ke keluasan dan kedalaman problem soko guru pangan di Nusantara ini. Selain menyoal harga gabah yang sangat rendah, para petani juga dihadapkan pada persoalan lain yang tidak kalah brutalnya.
Di sejumlah wilayah lain, petani menghadapi persoalan pencemaran sumber-sumber mata air dan lahan pertanian oleh kehadiran industri-industri energi padat modal, perampasan lahan pertanian untuk infrastruktur publik seperti jalan tol, kerusakan ekosistem pertanian karena aktivitas penambangan batuan andesit, dan lain sebagainya.
Di tengah keterpurukan petani guram dan petani keluarga semacam itu, pemerintah saat ini tengah menggalakkan “food estate”. Puluhan ribu hektar hutan ditebang untuk membuka sawah baru. Warisan persoalan kaum tani yang eksis hingga saat ini malah tak pernah diurus bahkan diabaikan.

Pemerintah seperti mempertaruhkan “sesuatu yang pasti” untuk “sesuatu yang tidak pasti.” Film dokumenter ini adalah film pertama yang dibuat di bawah bendera koperasi. Dandhy Laksana, Farid Gaban, dan Tim menjalankan film ini dalam model bisnis koperasi beranggotakan 25 orang, sebagian besar tinggal di Wonosobo.
Koperasi ini bergerak di produksi konten terkait perjuangan advokasi Ekspedisi Indonesia Baru. Karena berbasiskan koperasi, Dandhy dan Tim melakukan uji coba sosial dengan membuka “saweran” di acara “Nobar dan Diskusi Film” ini di Pendopo GUSDURian guna mendukung produksi konten advokasi yang mereka geluti.
Bertolak dari “jurus tua” koperasi inilah, Dandhy mendaulat judul “SILAT TANI” sebagai representasi dari “jurus alternatif” bagi perjuangan petani mempertahankan ruang hidup dan penghidupannya di jaman yang serba tidak pasti ini. Kendatipun jurus itu using, setidaknya ia bisa menjadi benteng terakhir di tengah gemburan hebat sistem fundamentalisme pasar yang invasif.
Penyajian “shot-shot gambar” yang indah namun padat dengan kerasnya data dan realitas hidup dan penghidupan di Wonosobo, Dieng, Wadas, Sleman menjadi “jantung” yang memompa dan mentransmisikan “darah” dalam keseluruhan bagian, dari awal hingga akhir film.
Film ini layak dintonton oleh siapapun, utamanya para pembelajar yang mulai melek tentang pertaruhan bangsa yang selalu dilupakan, dimarjinalkan, atau bahkan disingkirkan, yaitu para soko guru pangan di sektor pertanian yang selalu menjadi tumbal di lapis terbawah dalam piramida korban pembangunan.
Penulis: Abe Widyanta