Surakarta, gugat.id – Kampung Tempurejo, yang berlokasi di Kelurahan Sumber, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta, menyajikan sebuah model laboratorium sosial-geografis yang menarik. Secara toponimi, wilayah ini dinamakan berdasarkan lokasinya di area pertemuan (tempuran) aliran Sungai Kali Anyar dan Kali Gajah Putih. Secara demografis, komunitas Tempurejo memiliki karakter heterogen, didominasi oleh populasi migran internal dari berbagai wilayah di Jawa Tengah. Meskipun komposisi masyarakat yang beragam ini (meliputi asal daerah dan spektrum mata pencaharian) secara umum sering menimbulkan tantangan terhadap kohesi sosial, di Tempurejo justru diamati fenomena yang kontras: diversitas (diversity) berfungsi sebagai fondasi kuat bagi kerukunan sosial (social harmony) yang stabil sejak era 1980-an.

Namun, tantangan ini berhasil diatasi melalui intervensi kultural internal yang dimulai pada awal dekade 1990-an. Munculnya figur-figur masyarakat yang memiliki kompetensi mendalam terhadap tradisi Jawa memungkinkan terciptanya sistem manajemen acara komunal yang terstruktur dan efektif. Sistem ini melibatkan pembentukan panitia umum (kridhadarma babagan umum) yang bertanggung jawab atas logistik dan, yang lebih krusial, penetapan Pelaku Utama Upacara (kridhadarma babagan pahargyan) yang memegang otoritas dalam memimpin rangkaian ritual. Untuk menjamin kelancaran teknis dan koordinasi, pertemuan pra-acara yang disebut kumbakarenan dilembagakan secara rutin.
Menyikapi krisis regenerasi tersebut, warga di tingkat Rukun Tetangga 03 (RT 03) Rukun Warga 02 (RW 02) menginisiasi pengajuan usulan program pelatihan untuk memastikan keberlanjutan tradisi. Pengurus RT 03 RW 02 kemudian menindaklanjuti inisiatif ini dengan mengajukan permohonan resmi kepada Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta untuk mengadakan program “Pembelajaran dan Pelatihan Tatacara Pernikahan Adat Jawa Gagrag Surakarta Hadiningrat.”
Tim Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) dari ISI Surakarta, di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Sugeng Nugroho, S.Kar., M.Sn., Melakukan program pelatihan yang didesain sebagai sebuah intervensi terstruktur yang dilaksanakan selama empat bulan (Juni hingga September 2025). Metodologi pelatihan dibagi menjadi tiga fase kunci untuk menjamin transfer pengetahuan dan kompetensi yang efektif.
Pertama, Fase Konseptual, peserta diberikan pemahaman komprehensif mengenai filosofi, simbolisme, dan etika yang mendasari setiap tahapan ritual pernikahan adat, disampaikan langsung oleh narasumber dari Karaton Surakarta Hadiningrat. Kedua, Fase Manajerial dan Teknis, yakni penyusunan kepanitiaan (kridhadarma) dan penyusunan alur acara. Fokus ditekankan pada penguasaan detail teknis dan urutan sakral dari setiap prosesi, mulai dari ritual siraman hingga panggih. Dan ketiga, Fase yang melibatkan dua aspek krusial, meliputi komunikasi publik dan tata busana Jawa. Komunikasi publik menjadi fase terlama (lebih dari sebulan) dan paling krusial.
Sebagai tahap terlama dan paling esensial, sesi ini memberikan pelatihan intensif pada peran-peran performatif, termasuk pambiwara (pembawa acara), peraga srah-panampi (serah-terima calon mempelai pria), dan peraga atur pambagyaharja (pidato sambutan pemangku hajat). Pelatihan menekankan pada teknik vokal, postur, dan penggunaan diksi Jawa halus (undha usuk basa) untuk menciptakan otoritas dan suasana sakral. Dalam tata busana Jawa, peserta—dibantu oleh anggota tim PKM Maharani Luthvinda Dewi dan asisten dari alumni SMK Negeri 8 Surakarta—dilatih mengenakan busana adat Jawa Surakarta secara mandiri. Penguasaan busana adat ditekankan karena berfungsi sebagai simbol etika dan status sosial dalam konteks upacara.
Program pelatihan pelaku utama upacara adat Jawa di Kampung Tempurejo mencapai puncaknya dengan dilaksanakannya dua sesi evaluasi nyata. Uji coba sesungguhnya dilakukan dua kali, pada 22 Juni 2025 dan 4–5 Oktober 2025, di mana para peserta dihadapkan langsung pada acara hajatan pernikahan di lingkungan RW 02 Sumber. Dari total 23 partisipan pelatihan (10 pria dan 13 wanita), yang sebagian besar diklasifikasikan memiliki tingkat penguasaan inisial (basic competency), sepuluh peserta (5 pria dan 5 wanita) berhasil lolos tahap validasi melalui seleksi yang ketat. Keseimbangan demografi gender ini menunjukkan efektivitas program dalam menghasilkan kompetensi merata.
Keberhasilan program ini diposisikan sebagai cetak biru yang dapat direplikasi untuk melaksanakan inisiatif serupa di unit RT lain di wilayah RW 02 Kelurahan Sumber pada periode berikutnya. Model intervensi di Tempurejo secara empiris membuktikan bahwa tantangan regenerasi tradisi di tengah masyarakat yang heterogen dapat diatasi melalui kombinasi antara intervensi pendidikan terstruktur dan kolaborasi sinergis antara komunitas lokal dan institusi akademik. Dengan demikian, program ini secara efektif menjamin bahwa tradisi komunal di Surakarta akan terus dilestarikan dan diwariskan dengan integritas kepada generasi mendatang.
(Redaksi)