MUDIK: Daya Tarik Urban dan Kegagalan Membangun Desa |

MUDIK: Daya Tarik Urban dan Kegagalan Membangun Desa

By
Deskripsi Banner

Yogyakarta (gugat.id) – Cerita kemacetan mudik selalu menjadi headline dalam pemberitaan media massa pada saat cuti bersama Hari Raya Idul Fitri. Akutnya persoalan ini membuat pemerintah melalui Menteri Perhubungan bersama aparatur kepolisian dari tahun ke tahun harus bekerja ekstra keras mengatasi kemacetan saat arus mudik maupun arus balik.

Menurut Kemenhub seperti dilansir dalam dephub.go.id, tahun ini diperkirakan sekitar 123,8 juta orang melakukan mudik lebaran. Jumlah yang fantastis. Pemerintah memprediksi perputaran uang yang terjadi pada mudik tahun ini mencapai puluhan triliun rupiah.

Oleh sebab itu, sembari mengatasi macet, pemerintah juga berharap sirkulasi uang dari kota ke desa ini dapat menumbuhkan sektor perekonomian. Uang yang dibawa oleh para migran diharapkan dapat dibelanjakan dan didistribusikan di daerah asal. Tentu, hal ini dapat berkontribusi untuk menggerakan ekonomi di daerah-daerah, Inilah keuntungan dari adanya budaya mudik.

Akan tetapi, perlu untuk melihat lebih jauh soal mudik. Dibalik kemacetan dan perputaran uang yang masif, ada problem fundamental yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang belum selesai. Problem tersebut adalah ketimpangan sosial ekonomi antara desa dan kota.

Pembangunan yang serba modern dan manuver ekonomi di berbagai sektor menyebabkan perkembangan terjadi begitu cepat di perkotaan. Berbanding terbalik, pedesaan mengalami stagnasi dalam pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi.

Kota-kota terus direnovasi dan dipercantik sedemikian rupa, sedangkan desa cenderung dibiarkan tertinggal. Realitas tersebut melahirkan konstruksi sosial tentang desa dan kota, dimana kota dikonotasikan dengan kemajuan dan desa dikonotasikan dengan ketertinggalan.

Pemerintah sebenarnya telah menyediakan dana desa yang diharapkan dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi desa. Namun dalam praktiknya, dana desa justru banyak disalahgunakan.

ICW menyebutkan bahwa pada 2022, korupsi paling banyak terjadi adalah di desa dengan 155 kasus, dimana 133 kasus berhubungan dengan dana desa. Fakta ini membuktikan bahwa dana desa dari aspek perencanaan, pelaksanaan, sampai pelaporannya masih belum maksimal dan cenderung disalahgunakan.

Kondisi-kondisi tersebut menimbulkan kesan bahwa tiada harapan lagi untuk menetap dan bekerja di desa. Akhirnya, kota menjadi tujuan berlabuhnya harapan. Kota memang menawarkan permintaan tenaga kerja yang cukup masif dan pendapatan yang lebih tinggi dari desa.

Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong terjadinya migrasi. Migrasi yang terjadi selama ini memang cenderung dari daerah-daerah relatif miskin dan tertinggal (desa) menuju ke daerah yang memiliki kesempatan kerja lebih baik (kota).

Hal ini dilegitimasi dengan fakta bahwa wilayah desa di Indonesia identik dengan masalah kemiskinan. Akhirnya, migrasi dianggap menjadi satu-satunya pilihan untuk mengubah nasib. Sektor pertanian dan peternakan yang selama ini dijalani, dianggap sudah ketinggalan zaman dan tidak menjanjikan lagi.

Konsekuensi logisnya adalah meningkatnya aktivitas sektor informal di perkotaan. Sebab, hanya sektor inilah yang dapat menjadi tumpuan kaum urban bagi yang tidak memiliki keterampilan.

Belum lagi apabila sektor ini membludak dan tidak tertampung, maka akan muncul masalah-masalah sosial perkotaan seperti meningkatnya pengangguran, kriminalitas, dan munculnya perkampungan kumuh (slum area).

Besarnya arus migrasi mempengaruhi dinamika gerak kependudukan yang tak berimbang antara desa dan kota. Desa semakin ditinggalkan oleh tenaga muda produktifnya, menuju ke kota yang dianggap menjanjikan prospek masa depan yang cerah. Semakin masifnya migrasi ini terlihat saat arus mudik maupun arus balik, yang sebenarnya menandakan kegagalan dalam pemerataan pembangunan.

Saat arus balik misalnya, orang-orang yang akan kembali ke desa biasanya mencitrakan diri dan menceritakan tentang kondisi kota yang secara spasial dan sosial seolah menjadi tempat tujuan ideal. Citra yang disematkan melalui tanda-tanda ekonomi yang dibawa oleh pemudik, mampu mengundang hasrat yang lain untuk ikut pergi mengadu nasib ke kota.

Jean Baudrillard, pada 1970, melihat gejala masyarakat konsumtif, dimana tanda-tanda yang dikonsumsi melahirkan fetisisme (pemujaan) terhadap komoditas-komoditas ekonomi di perkotaan. Pemujaan terhadap kota beserta berbagai komoditas di dalamnya, dibawa dan ditularkan ke lingkungan desa.

Desa dijadikan sebagai ranah sosial untuk memperlihatkan modal yang ia miliki, yaitu modal ekonomi (membagikan THR, kue lebaran, dll) dan modal simbolik (dengan gaya berpakaian yang mencolok, handphone bermerk, atau kendaraan yang dibawa), dengan harapan mendapat pujian dan dianggap berhasil.

Ini yang disebut Pierre Bordieu, pada 1992, sebagai akumulasi modal-modal dalam masyarakat, yang dapat menentukan hierarki (kedudukan) seseorang dalam struktur sosial. Semua itu terakumulasi menjadi keinginan untuk migrasi ke kota.

Sayangnya, keinginan tersebut kadang tidak dibarengi dengan pendidikan dan keterampilan, (unskilled). Tingkat pendidikan yang rendah dan keterampilan yang minim membuat mereka sekedar ingin menjadi asisten rumah tangga, kuli bangunan, penjual sayuran, penjual bakso, penjual mainan anak-anak, atau penjual asongan.

Sektor informal akhirnya menjadi tumpuan penghasilan, meskipun dibayang-bayangi dengan beragam kerentanan kerja karena minimnya proteksi pemerintah di sektor ini.Itulah sekelumit masalah yang terjadi dibalik mudik. Penyelesaian atas masalah tersebut dapat dimulai dengan pemerataan pembangunan antara desa dan kota.

Baca juga: https://www.gugat.id/peneliti-ugm-tengah-kembangkan-vaksin-rotavirus-rv3/

Pemerataan pembangunan, baik pembangunan sumber daya manusia dan sumber daya alam, dapat memangkas jurang ketimpangan sosial ekonomi antara desa dan kota. Strateginya dapat berupa pemberdayaan dan pengelolaan potensi sumber daya desa untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik.

Misalnya bidang pertanian, perkebunan, dan peternakan, pemerintah dapat membantu akses permodalan yang mudah dan juga membantu mendistribusikan hasilnya agar tidak terjadi penumpukan dan penurunan harga. Pusat-pusat ekonomi harus banyak dibangun di daerah-daerah terutama yang mayoritas pedesaan.

Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) juga harus diperhatikan agar muncul banyak wirausahawan dari desa. Dengan demikian, migrasi sosial dapat ditekan dan semakin banyak warga yang bekerja di desanya sendiri. Akan tetapi, jika hal ini tidak dilakukan maka fenomena mudik tiap tahun dengan skala besar akan terus terjadi.

Penulis: Pandu Irawan Riyanto (Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi UGM)

Leave a Comment

Your email address will not be published.

You may also like

Hot News

Instagram
WhatsApp
Tiktok
error: Content is protected !!