Yogyakarta, gugat.id – Semenjak dilaksanakan serentak pada Tahun 2014, hampir tidak ada calon peserta pemiluyang tidak berminat memasang APK (alat peraga kampanye) di pohon-pohon sepanjang jalan raya. Saat ini sedikitnya, satu pohon ditemui dengan selembar spanduk ukuran A3 yang berisi gambaran peserta pemilu.
Dulu sebelum 2014 para pengampanye memilih metode komunikasi sebagai mediasi utama. Sekarang, determinasi pola menunjukan fenomena ekspansi manusia terhadap pohon menjadi “kuat”. Bahkan, ada beberapa politisi meninggalkan pola komunikasi sebagaimana untuk penyebaran visi misinya kepada para pemilih.
Hal itu ditengarai, ekspansi manusia terhadap pohon menjadi metode ilegal dan media kampanye masif bagi berbagai politisi di Indonesia.
Kenapa ilegal? Apakah pohon dilindungi oleh hukum?
Di Indonesia, dalam kepemimpinan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) telah memberikan gambaran tentang aturan-aturan penanaman dan perawatan pohon di badan jalan raya. Namun, fenomena sosial-politik lingkungan menunjukan, pasca kepemimpinannya menegaskan kegoyahan kebijakan Indonesia masih terjadi.
Alih-alih presiden ke-6 akan membuat reforma agraria semakin baik, justru digugurkan oleh pikiran tak berlandaskan keadilan lingkungan pada era presiden ke 7 di Indonesia. Para pemerintahan dari beragam kementerian/lembaga seakan membiarkan fenomena pemasangan spanduk/banner kampanye di pohon-pohon badan jalan. Bahkan banner presiden dan anak-anaknya memberikan legitimasi bahwa, adanya pembolehan pemasangan APK di perindang jalan tersebut.
Kampanye Serentak Pemilu 2024: Logika Bengkok Manusia Terhadap Alam
Tak semudah itu, zaman dinamisme, manusia mau menggerakan intuisinya untuk berbuat buruk terhadap pohon. Namun, hingar-bingar manusia terhadap kehidupan sosial-ekonomi menciptakan tragedi hubungan manusia dengan pohon.
Dahulu, manusia mengagungkan sifat materi lingkungan setara dengan kehidupan. Hampir tidak ada, manusia yang berani untuk merubah, menguasai, dan melukai ciptaan alam semesta. Mereka saling menghormati dan menjaga.
Seiring perkembangan pola berfikir manusia menciptakan peradaban teknologi dan mediasi yang masif. Hingga, manusia tak mampu menguasai dirinya, kerusakan hubungan alam dan manusia pun terjadi. Manusia meninggalkan alam dengan pembengkokan kepercayaan atas pikiran, tubuh dan uang.
Pikiran manusia mengalami re/evolusi dengan adanya pengetahuan terkait pertukaran materi untuk hidup. Tubuh mulai menjadi material yang berjarak dengan alam. Hingga, uang mempertegas kebutuhan pokok manusia.
Logika politik manusia dan alam, semakin ditinggalkan, sirna menyebabkan pohon dan entitas lainnya sebatas obyek semata. Hilangnya logika ini mempertegas perlakuan manusia terhadap pohon diperbolehkan semena-mena.
Sekarang, fenomena atas logika itu, mayoritas manusia merubah dirinya dalam sosok keserakahan. Bukan hanya, mereka memasang APK dengan paku, kawat, dan material yang menjadi perusak fungsi pohon. Bahkan, banyak dari mereka menebang pohon untuk digantikan material baru untuk berkampanye, seperti baliho, potongan bambu dan media pemasangan papan iklan lainnya.
Parahnya, pemerintah tak sanggup membendung hal tersebut. Sisi edukasi dan penanganan fenomena seakan, pemerintah saat ini diam dan acuh, biasa-biasa saja.
Ketika banyak pohon tumbang akibat tak mampu menahan kuatnya angin dan air hujan. Kemana sisi manusia secara alamiah kita? Dengan adanya fenomena APK ini, banyak manusia menunjukan batang hidupnya sebagai perusak, sebagai penegas. Sudah banyak manusia meninggal akibat pohon tumbang bukan karena akar tak mampu menopang. Namun, pohon itu telah lama dilukai dan dibunuh akarnya akibat material APK. So.. Bukan pohon yang membunuh manusia. Akan tetapi, logika bengkok manusia itu sendiri yang tanpa sadar melukai manusia lainnya.
Degradasi lingkungan: ruang ketiga pohon perindang jalan
Secara hakikatnya, pohon merupakan sebuah entitas dari suatu ekosistem lingkungan di wilayah tropis. Manusia membutuhkan pohon sebagai media penyerap air, peneduh, dan prinsip kehidupan simbiosisme.
Baca juga: https://www.gugat.id/diduga-korsleting-listrik-tempat-hiburan-malam-di-madiun-terbakar/
Hari ini, manusia mulai tidak sanggup memandang pohon akibat identitas sintetisnya. Bukan karena pohon itu, kedondong, duren, dan mangga, menghasilkan buah atau bunga yang tidak disukai manusia. Akan tetapi, karena pohon telah diberikan identitas baru sebagai penyangga APK.
Seakan rakyat miskin kota, pohon menjadi sarana politisi dan keburukan antek-anteknya untuk menjadi pengiklan APK sehingga orang dapat dipengaruhi, sebagai pendulang suara tak langsung. Orang tidak lagi berfikir pohon “A” memiliki manfaat apa pada batang, daun, bunga dan buahnya. Hari ini, pohon dipandang dengan partai apa yang menempel pada batangnya.
Apabila diteruskan, program pemerintah terkait penanaman pohon buah dan perindang akan gagal, akan terjadi perubahan makna terhadap pohon. Sangat disayangkan, pohon sebagai tanaman penyuplai oksigen, buah, dan kebutuhan manusia atas alam semakin berkurang. Sehingga manusia semakin tergantung pada siapa gambar pada pohon untuk pemenuhan kebutuhan kedepan. Ketimbang, pikiran manusia mengharapkan sebuah pohon akan menghasilkan apa kedepannya.
(Redaksi)