Membangun Desa Wisata Berbasis Spiritual: Belajar dari Masyarakat Gancahan Sidomulyo Godean |

Membangun Desa Wisata Berbasis Spiritual: Belajar dari Masyarakat Gancahan Sidomulyo Godean

By

Yogyakarta (gugat.id) – Ada yang menarik untuk didiskusikan terkait Kirab Budaya Hari Menanam Pohon Indonesia 2022 yang digelar Jumat (25/11/2022) di kompleks Embung Gagak Suro Dusun Gancahan, Kalurahan Sidomulyo, Kapanewon Godean Sleman. Dalam persiapan yang hanya sekitar sebulan, prosesi yang melibatkan seluruh warga dengan kelembagaan yang ada bisa berlangsung dengan lancar, sukses, meriah dan hikmat. Juga kehadiran para pejabat di lingkungan pemerintah Kabupaten Sleman merupakan langkah awal yang patut diapresiasi. Berikut beberapa faktor yang bisa dijadikan bahan analisis. 

Kepemimpinan Lokal

Banyak desa mempunyai potensi baik alam, sejarah, budaya, adat tradisi, kuliner, kerajinan dan pertanian. Namun tidak banyak desa yang mampu memberdayakannya menjadi aset pariwisata yang bisa mendatangkan manfaat bagi warga dan pengunjung. Kunci utama ada pada peran kepemimpinan lokal. Lurah Sidomulyo dalam banyak kesempatan tidak saja mendorong warganya untuk berkiprah secara aktif, tetapi juga menggerakkan seluruh elemen kelembagaan desa untuk aktif. Bahkan dia membersamai siang malam warganya saat mengerjakan beragam kegiatan. Tak harus menjaga jarak atau gila hormat, Lurah Sidomulyo membaur penuh kehangatan dengan warganya. Pola manjing ajur ajer yang diterapkan terbukti efektif membangun kohesi sosial dengan warganya. Strategi ini sebetulnya menjadi pintu pembuka bagi banyak program yang berkaitan dengan pengembangan potensi desa.

Sinergi Antar lembaga Desa

Kolaborasi itu terlalu sering diucapkan tetapi kita sulit mengenali seperti apa bentuk dan konkretnya. Sering ego sektoral menjadi kendala, kepentingan kelompok usaha pun mengemuka. Dalam kasus Sidomulyo, beragam perbedaan kepentingan disatukan dalam kesamaan visi, yakni sama-sama ingin mengangkat keberadaan Kyai Wirajamba sebagai inspirasi. Sosok yang dikenal dengan sebutan Dono Murah karena suka berderma dan beramal itu nampaknya mampu mengikis perbedaan di kalangan masyarakat. Dalam hal ini, kerjasama antara Pokdarwis Mulyo Asri dan Badan Usaha Milik Kalurahan (BUMKal) Sido Makmur didukung Paguyuban Makam Kyai Wirajamba dan warga Gancahan patut dinilai tersendiri. Ketiga lembaga saling bersinergi untuk sama-sama mengerahkan sumber daya yang dimiliki. Hasilnya memang cukup menjanjikan. Jika Kirab Budaya Hari Menanam Pohon Indonesia 2022 dijadikan tolok ukur, maka itu merupakan modal yang teramat besar. Mengapa itu bisa terjadi? Masing-masing pemimpin lembaga tidak ambisius, saling mengisi dan mengedepankan kepentingan warga. Mereka bisa berbagi area usaha dan sekaligus mau membuka diri agar potensi desa bisa digarap lebih maksimal untuk mendatangman manfaat yang lebih besar bagi warga.

Kohesi Sosial yang Terjaga

Desa berkarakter komunal, guyup rukun dan mengutamakan harmoni. Ini terutama bisa kita temukan pada desa yang masih memegang adat tradisi atau menempatkan tokoh spiritual yang sama-sama masih dihormati. Hubungan sosial kemasyarakatan masih hangat, saling membantu dan memiliki mekanisme untuk meredam perbedaan agar tidak menjadi konflik yang berdampak negatif. Padukuhan Gancahan yang terdiri atas empat kring (V, VI, VII, VIII) relatif masih menjaga suasana dan karakter masyarakat padusunan. Bukan berarti mereka menolak kemajuan atau modernisme tetapi ada mekanisme internal yang dijadikan pedoman dan rujukan bersama. Kohesi sosial adalah inti integrasi atau persatuan. Bisa dijaga dan dikelola dengan upacara adat tradisi, gotong royong, pengajian, kerja bersama atau beragam jenis musyawarah dan rembug desa. Keterlibatan perempuan juga bisa diandalkan. Mereka secara mandiri memggerakkan UMKM tetapi secara kolektif membangun kebersamaan dalam beragam kegiatan. Karang Taruna juga memiliki andil yang tak kecil dalam memerankan diri sebagai transformator. Jika lembaga-lembaga di atas bergerak bersama, kolaborasi menemukan konteksnya. Dan itu ada di Kalurahan Sidomulyo.

Spiritual Sebagai Energi

Faktor-faktor yang diulas di depan tak bisa bekerja secara maksimal selagi tak ada spirit yang membakar. Dalam konteks Sidomulyo, keberadaan makam Kyai Wirajamba dengan peran kesejarahan yang monumental menjadi sumber energi itu. Ini berkaitan dengan upaya pembentukan jatidiri dan karakter manusia. Dengan menempatkan tokoh sejarah yang sama-sama dihormati, membuka kesadaran warga untuk meneladaninya. Jika ini kemudian dijadikan laku keseharian, maka terbentuklah kepribadian itu. Kepribadian yang lahir karena internalisasi nilai-nilai kepahlawanan yang ada di sekitar mereka sesungguhnya menjadi inti dari keistimewaan Yogyakarta. Pemaknaan sejarah seperti di atas menarik untuk dipelajari. Saat sebutan pahlawan hanya terdengar di sekitar tanggal 10 Nopember, apa yang dilakukan masyarakat Gancahan, Sidomulyo, Godean sesungguhnya memberikan bukti konkret tentang upaya menumbuhkembangkan nilai kepahlawanan. Pemerintah Kalurahan Sidomulyo, lembaga desa dan warga yang mencoba mengangkat potensi yang dimiliki untuk kehidupan di masa depan merupakan teladan bagi banyak desa dan para pionir wisata budaya. Semoga Kyai Wirajamba senantiasa bahagia di alam sana melihat generasi penerusnya sungguh-sungguh melanjutkan laku lampah perjuangannya.


Penulis : Wahjudi Djaja, S.S., M.Pd adalah Dosen STIE Pariwisata API Yogyakarta, Anggota Badan Promosi Pariwisata Sleman (BPPS), Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (KASAGAMA)


Leave a Comment

Your email address will not be published.

You may also like

Hot News

Instagram
WhatsApp
Tiktok
error: Content is protected !!