Gugat.id, _// Tahun ini Yogyakarta dinobatkan sebagai Kota Layak Anak dengan tingkat Utama setelah tahun lalu berstatus Nindya oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Pemberian penghargaan tersebut berdasarkan pencapaian indikator kelembagaan, hak sipil, lingkungan keluarga, kesehatan, pendidikan dan perlindungan khusus.
Tingkat keberhasilan ini kiranya belum mencapai puncak keberhasilan, karena perlu dipertahankan dan menggapai tingkat KLA seutuhnya.Disamping belum tercapainya Kota Layak Anak secara paripurna, Yogyakarta perlu berbenah diri terkait nasib dari kelompok mikro sosial yaitu keluarga terutama anak.
Terlebih dalam masa pagebluk Covid-19 seperti hari ini, terdapat perubahan dinamika kehidupan yang mengalami transformasi yang signifikan. Menjadi pekerjaan rumah tersendiri untuk pihak pemangku kebijakan dan agen yang terlibat dalam dunia perkembangan anak di masa serba sulit seperti ini.
Pelbagai problema yang masih dialami anak seperti kekerasan, pernikahan dini, turunya derajat kesejahteraan, meningkatnya jumlah putus sekolah dan meningkatnya siswa miskin.
Tercatat pada survei nasional PPPA (2020) anak yang mengalami kekerasan fisik sejumlah 36,43% anak laki-laki dan 19,35% anak perempuan, sedangkan kekerasan emosional sebesar 52,34% dan 58,51% anak.
Zaman berubah, begitu pula cara berpikir dan menyikapi anak harus berubah. Perlu daya pikir yang adil sejak dalam pikiran, mengapa demikian? Karena jelas kiranya beban anak bertambah baik psikologis, sosial dan ekonomi di masa pagebluk Covid-19 ini.Di ranah pendidikan sekolah tak terkecuali, perlu mengurangi beban belajar dan mengubah pendagogi pembelajaran sangat perlu dilakukan.
Peningkatan intensitas belajar dan pemberian pekerjaan rumah berlebih bagi anak yang mulanya ditujukan demi “perkembangan” anak akan menjadi bumerang yang menghantam balik perkembangan anak. Seperti studi Cooper (2006) anak akan kehilangan masa pengenalan dirinya dan akan terbebani karena pemberian pekerjaan rumah yang berlebih: waktu bermain berkurang, keletihan, waktu bersama keluarga berkurang dan waktu eksplorasi diri sendiri dengan hobi tidak akan terjadi.
Di ranah keluarga barangkali menjadi momentum pagebluk Covid-19 ini untuk mengenal anak dengan lebih dalam. Karena masa sekarang yang dimana mengharuskan banyak kegiatan dilakukan melalui rumah saja. Sehingga banyak pertemuan secara fisik antara anak dan orang tua. Pertemuan secara psikologis dan sosial perlu dibingkai dengan indah, yaitu dengan komunikasi satu-sama lain.
Dengan begitu kekerasan fisik dan simbolik di dalam rumah tangga dapat ditekan. Perlu dipahami setiap anak perlu di rekognisi seperti kegemaran, selera makan, cita-citanya dan perkembangan anak bagaimana cara dia memandang dunia oleh anggota keluarga dan masyarakat.
Kendati demikian tahap pertama yang dapat dilakukan adalah memahami anak dengan mengakui dirinya sebagai subjek yang bebas. Semakin banyak peraturan dan larangan yang diberikan kepada anak di masa Pandemi Covid-19 akan merepresi ruang ekspresi anak bahkan menghasilkan kekerasan –karena melanggar peraturan dan di hukum seperti dimaki, dipukul, ditampar dsb.Pada akhirnya pertanyaan yang musti dijawab seberapa penting Kota layak Anak perlu diperjuangkan? Tentu sangat penting karena jumlah anak yang terdapat di Indonesia memang hanya 1/3 dari seluruh penduduk (Profil anak Indonesia, 2013).
Tetapi mereka adalah 100% masa depan keluarga, masyarakat negara dan dunia. Dalam konteks perjuangan Yogyakarta dalam menciptakan KLA, perlu melibatkan sinergi dari keluarga, lembaga sosial, masyarakat dan pemangku kebijakan.
Kesatupaduan dan cara berfikir yang adil terhadap anak merupakan kunci jawaban dari soal-soal yang berlapis permasalahan anak. Kendati demikian Kota Layak Anak yang di idamkan oleh Yogyakarta dan tentu Indonesia, bukan lagi sebuah mimpi tetapi sebuah kenyataan.
Surya Aji Pratama_gugat ID,
(Mahasiswa Sosiologi UGM)