Penulis : Rizkiansyah Fitramadhana
GUGAT.ID – Pendidikan kita berencana mencetak tenaga kerja, tapi sama sekali tidak berniat mengajari peserta didik untuk membela haknya sebagai pekerja. Tengok saja buku pelajaran atau referensi siswa. Pembelajaran tentang ketenagakerjaan nyaris tidak ada. Kalaupun ada, pembahasannya biasanya menyasar isu mobilitas sosial atau pembangunan.
Absennya penjelasan komprehensif perihal ketenagakerjaan menunjukkan sekali lagi hubungan antara pendidikan dan politik. Tidak disertakannya pengetahuan kritis mengenai hak dan kewajiban tenaga kerja merupakan keputusan politis dari penyelenggara pendidikan. Dengan kata lain, penghilangan tersebut adalah upaya yang disengaja dan mempunyai kepentingan tertentu.
Apa kepentingannya? Secara umum, penyelenggara pendidikan ingin mengontrol mana yang harus dipelajari dan mana yang tidak perlu dipelajari. Dalam kajian pendidikan kritis, usaha ini dinamakan sebagai pengaturan sirkulasi pengetahuan lewat penentuan kurikulum dan metode pembelajaran. Secara khusus, dengan mengatur substansi pembelajaran tentang ketenagakerjaan, otoritas bermaksud mengurangi risiko pemberontakan dari kelas pekerja. Lebih baik menciptakan keharmonisan daripada konflik. Karena konflik hanya merugikan masyarakat. Begitu kira-kira jalan pikiran penguasa.
Baca Juga
- Sesudah Masa Kelam: Beberapa Catatan Tentang Pekerja Perusahaan Rintisan Awal (Startup)
- Sebuah Eksplorasi Awal Tentang Pemengaruh (Influencer)
- Diskursus Modal Manusia: Meningkatkan Produktivitas, Mengatur Tubuh
Apa saja dampak yang muncul dari pengabaian pembelajaran kritis mengenai ketenagakerjaan tersebut?
Pertama, siswa/i tidak mengetahui apa saja hak dan kewajiban mereka sebagai pekerja. Saat pertama melakukan transisi ke dunia kerja, angkatan kerja baru perlu mengetahui klausul kontrak yang diberikan. Apa yang harus mereka kerjakan, berapa kompensasi yang ditawarkan, dan apa terdapat sanksi bila ada situasi pelanggaran—semua unsur itu wajib diketahui oleh calon pekerja. Bagaimana siswa/i bisa mengetahui hak dan kewajiban pekerja jika tempat mereka menimba ilmu abai terhadap hal dasar seperti itu.
Kedua, siswa/i tidak mengerti cara mengadvokasi diri saat mengalami masalah ketenagakerjaan. Ketika mendapat prahara ketenagakerjaan seperti pemecatan semena-mena dan penunggakan upah, siswa/i terkadang mengalami kebingungan. Mereka tidak tahu harus mengadu ke mana dan bagaimana. Mereka juga kurang memahami cara menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan ketentuan legal yang ada.
Kasus Kampus Merdeka yang diliput oleh Multatuli, misalnya, melaporkan bahwa ada mahasiswa yang mengalami pemecatan, eksploitasi berlebih, dan keterlambatan upah. Mereka diperlakukan sebagai pekerja sebagaimana mestinya walaupun posisinya hanyalah anak magang.
Ketika mahasiswa menghadapi masalah tersebut, kebanyakan dari mereka linglung. Permen No. 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi belum mengatur perlindungan hukum bagi mahasiswa yang mengalami isu ketenagakerjaan. Di sisi lain, ketidaktahuan mengenai strategi advokasi dan jumlah mereka yang terbatas membuat motivasi menyelesaikan masalah pudar begitu saja. Mahasiswa cenderung menerima keputusan sewenang-wenang perusahaan tanpa ada pembelaan terlebih dahulu. Satu-satunya jalan adalah melapor ke unit advokasi kampus. Sayangnya tidak semua kampus di Indonesia mempunyai pusat advokasi tersebut.
Ketiga, menghilangnya inisiatif untuk membangun upaya kolektif (berserikat). Pemotongan lembaran sejarah perjuangan kaum buruh berpotensi menutup mata siswa/i tentang betapa pentingnya berserikat untuk melindungi kepentingan dirinya dan memajukan kondisi kehidupannya. Akibatnya, mereka menganggap 8 jam kerja, hari libur, hak dasar, dan upah minimum sebagai hal yang sudah ada tanpa perlu perjuangan. Padahal, semua unsur itu didapatkan dari kegigihan berserikat.