GUGAT.ID – JD.ID, LinkAja, Zenius baru saja mengumumkan sebuah kabar duka: mereka akan memberhentikan beberapa karyawannya. Bagi pekerja yang bernaung di bawah tiga perusahaan tersebut, hari ini dan masa depan adalah masa-masa kelam. Mereka bingung harus kemana dan mengadu ke siapa. Ketidakpastian menyelimuti seluruh pikiran mereka. Kini, yang terbersit di dalam kepala mereka hanyalah bagaimana bisa bekerja kembali. Dalam tataran praktis, hal itu merupakan sebuah kewajiban. Namun, apakah hanya itu saja? Apa yang bisa direfleksikan sesudah masa-masa kelam ini?
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dialami karyawan JD.ID, LinkAja, dan Zenius mestinya menyadarkan pekerja perusahaan rintisan awal (startup) bahwa mereka sejatinya merupakan seorang buruh nun berisiko dan rentan. Mereka bukanlah kelas menengah “ngehe” yang bisa hidup stabil dan terjamin. Sebaliknya, mereka adalah seorang pekerja yang berada dilingkup relasi produksi ekonomi. Artinya, pekerja startup sebenarnya juga seorang buruh dan mengalami eksploitasi; di bawah jargon fleksibilitas mereka dipaksa bekerja kapan saja, sanggup bekerja di mana saja tanpa ada sekat antara kehidupan privat dan publik, dan dapat dipecat secara mudah lewat skema easy hiring, easy firing.
Baca Juga
- Sebuah Eksplorasi Awal Tentang Pemengaruh (Influencer)
- Diskursus Modal Manusia: Meningkatkan Produktivitas, Mengatur Tubuh
- Pekerja atau Pekerja-Pengusaha?
Sekarang, bila mereka telah sadar kalau posisinya sungguh sangat rapuh maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah berserikat. Tidak ada lagi kata gensi, apalagi antipati terhadap isu-isu perburuhan. Jika ingin terus maju, bangunan kolektif berupa serikat mau tak mau harus dibangun. Pekerja perusahaan rintisan awal tidak bisa melawan secara sporadis. Mengapa? Sebab apabila strategi itu dipilih, daya dobraknya mungkin akan kurang mengena. Kalau bisa melawan beramai-ramai, kenapa harus sendiri?
Akan tetapi, guna mencapai kesadaran bersama tersebut, pekerja startup tampaknya mesti berusaha lebih keras. Model organisasi kerja daring membuat interaksi dan pertukaran informasi antar pekerja terbatas. Tanpa adanya kedekatan, pegawai bisa jadi urung mengetahui bahwa mereka sebenarnya mengalami masalah yang hampir sama. Ketidaktahuan tentang permasalahan kolektif tersebut pada taraf selanjutnya menghambat terbentuknya kesadaran untuk membentuk serikat.
Lalu, setelah membentuk serikat, apalagi? Terlibat aktif secara politik, mengadvokasi alternatif kebijakan. Tunjukkan pada peragu bahwa dunia ketenagakerjaan yang lebih baik sangat mungkin. Melalui kegiatan riset dan advokasi kebijakan, pekerja dapat mendorong pengakuan masalah, menawarkan proposal reformasi kebijakan, dan mengubah kondisi ketenagakerjaan secara umum. Perubahan itu nantinya juga bakal berdampak pada keadaan mereka sendiri.
Ketiga, melakukan kolaborasi dengan pekerja lainnya. Dalam ekosistem ketenagakerjaan yang sangat menyiksa ini, buruh perusahaan rintisan awal bukanlah satu-satunya kelompok tertindas. Ada buruh pabrik, dosen, guru, pekerja media dan industri kreatif; semua mengalami keresahan serupa. Andaikata deretan profesi itu sanggup bekerja sama, daya ledak perjuangan kaum buruh mungkin akan lebih besar.
Penulis : Rizkiansyah Fitramadhana