Yogyakarta, (gugat.id) – Korupsi dilakukan oleh para pejabat dan politisi dalam berbagai level instansi pemerintah pusat sampai daerah, parlemen, peradilan, dan korporasi, di antara sumber masalahnya biaya politik tinggi.
“Korupsi di kalangan pejabat pemerintah dan politisi penyebab utamanya biaya politik dalam pemilihan umum sangat tinggi. Jadi biaya politik yang mahal memicu para pejabat, politisi dan lainnya berkorupsi,” kata pakar hukum Dr. Busyro Muqoddas, SH, M.Hum pada Kuliah Umum Magister Hukum Universitas Widya Mataram (UWM) di Kampus Terpadu di Jalan Tata Bumi Selatan, Banyuraden, Gamping, Sabtu (15/10/2022.
Acara kuliah umum diikuti mahasiswa baru pascasarjana Fakultas Hukum UWM, dan para mahasiswa strata satu (S1) yang sedang menyelesaikan skripsi.
Dekan Fakultas Hukum UWM Dr. Kelik Endro Suryono, SH.M.Hum menyatakan, ikut sertanya para mahasiswa S1 yang sedang menulis tugas akhir dalam kuliah umum ini, diharapkan mereka bisa langsung menjadi mahasiswa magister hukum UWM usai mereka diwisuda pada Maret 2022. Magister hukum FH UWM yang baru mulai perkuliahan pada semester ganjil 2022 ini, telah mendapat izin akreditasi B.

“Mahasiswa magister hukum yang lulus bisa langsung diwisuda dengan diperolehnya akreditasi B,” kata Kelik Endro Suryono.
Sentuhan oligarki dan korporat
Problem korupsi yang merata di berbagai instansi dan jabatan, menurut Busyro Muqoddas, biaya politik sangat fantastis besarnya. Fungsionaris KPK 2010-2014 itu menjelaskan, KPK memiliki data lengkap biaya korupsi.
Biaya politik calon bupati/wali kota rata-rata Rp 30 miliar, sementara gaji bupati/wali kota terpilih selama 5 tahun di bawah biaya politik. Begitu juga biaya politik menjadi gubernur bisa mencapai Rp 100 miliar, sedang biaya pilihan presiden biaya tak terhingga atau unlimited.
“Teman akrab saya ditawari menjadi wakil presiden diminta setor modal biaya politik dengan setor Rp 7 triliun,” kata dia.
Menurut Busyro, biaya politik tinggi itu sebagai konsekuensi atas desain pemilu yang dilegalkan dalam UU Parpol, UU Pemilu, UU Pilkada. Pilihan presiden misalnya, terdapat syarat presidential threshold sebesar 20 persen. Meskipun ini sudah dijudicial review, MK mengkandaskan gugatan itu.
Dalam keruhnya korupsi itu, peran ologarki dan bisnis ikut memperparah korupsi. Ketua Komisi Yudisial (KY) mengatakan, bisnis dan pemodalnya identik sebagai variable dependen yang mempengaruhi sejumlah oligarki dan kebijakan politik. Para pemodal berusaha untuk membeli para calon presiden, calon kepala daerah, dan pejabat lainnya agar pejabat terpilih mendukung kepentingan bisnis mereka.

Menurut Busyro Muqoddas, korupsi terjadi dalam sejumlah desain, yaitu korupsi atas dasar alasan kebutuhan pejabat, politisi (by need) untuk mengembalikan modal politik, korupsi atas dasar serakah (by greed) yang dilakukan oleh orang kaya sekaligus serakah, dan korusi yang dirancang melalui undang-undang (by design).
Menyinggung peran intelektual kampus, menurutnya, harus terlibat secara intensif dalam berbagai gerakan dan pembuatan regulasi antikorupsi.
“Para intelektual kampus harus terlibat pemberantasan korupsi secara sabar dan telaten,” pungkasnya.

Rektor UWM Prof. Dr. Edy Suandi Hamid,M.Ec saat membuka kuliah umum, menyatakan, oligarki dan kekuatan bisnis yang mempengaruhi kebijakan pemerintah terjadi dalam pemerintahan yang kepemimpinannya lemah. Dalam kasus Amerika, menurut Prof Edy Suandi Hamid, kekuatan pengusaha relatif kecil untuk pengaruhi pengambilan kebijakan.
“Celakanya, di Indonesia kepemimpinan belum kuat, pasal-pasal undang-undang mungkin pesanan dari oligaki dan kekuatan bisnis,” kata Prof Edy Suandi.
Dalam pidato pembukaan, Prof Edy Suandi Hamid menyatakan jajaran universitas bersyukur pada usia 40 tahun atas dua kado, yaitu UWM bisa membuka pascasarjana hukum, dan mendirikan gedung baru di Jalan Tata Bumi Selatan, Banyuraden, Gamping.
(Red/mjb)