Merajut Kenang Merenda Juang |

Merajut Kenang Merenda Juang

By

Yogyakarta, (gugat.id) – Pada 17 September 2022 akan digelar Reuni Alumni Sejarah Fakultas Sastra (Fakultas Ilmu Budaya) UGM dari semua jenjang dan angkatan. Temanya ”Merajut Kenang Merenda Juang”. Selain untuk mempertemukan kembali alumni Sejarah yang bertebaran di berbagai bidang kehidupan bangsa, reuni juga dimaksudkan untuk sedikit membuka peluang bagi terjadinya tukar gagasan terkait pengabdian kepada masyarakat. Langkah awal yang bisa ditempuh antara lain adalah memetakan peran sejarawan sesuai spesifikasi dan kompetensinya.

Sinergi Kampus-Kampung

Ada beberapa pertimbangan mengapa sejarawan seharusnya bersinergi dan berperan aktif dalam pemberdayaan dan pengembangan potensi masyarakat di dusun, kampung, dan desa.

Pertama, kiprah Jurusan Sejarah UGM sejak berdiri sampai awal era reformasi telah diakui baik kalangan akademisi maupun masyarakat luas. Para dosen dan Guru Besar Sejarah tidak terpaku di dalam ruang kuliah tetapi mampu mendedikasikan ilmunya untuk kepentingan masyarakat. Karya-karya mereka pun bukan hanya murni urusan kesejarahan tetapi lintas ilmu dengan beragam dimensi. Mereka berada di garda depan dalam menerjemahkan karakter UGM sebagai Kampus Kerakyatan. Sartono Kartodirdjo, Kuntowijoyo, Darsiti Suratman, adalah contoh nyata betapa Ilmu Sejarah amat efektif untuk membedah beragam permasalahan sosial kemasyarakatan. Bahkan Kuntowijoyo tidak saja berpredikat sebagai seorang sejarawan tetapi juga sastrawan dan budayawan dengan beragam karya masterpiece. Jika sejarah menempatkan masa lalu sebagai cermin, mereka lebih dari cukup untuk dijadikan teladan.

Kedua, sejak masa reformasi ada perkembangan yang cukup mendasar terkait peran dan eksistensi desa. Ada pelimpahan kewenangan dan anggaran di satu sisi, ada penguatan ke arah otonomi desa di sisi lain. Lebih dari sekedar entittas administratif dan jenjang paling bawah dari keberadaan negara, desa memiliki keleluasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Sejarah Pedesaan sebagai salah satu mata kuliah di Prodi Sejarah menemukan momentumnya. Berpayung program Kampus Merdeka, pembelajaran bisa didesain untuk lebih kontekstual dengan menempatkan desa sebagai laboratorium. Kerjasama dan pembuatan proyek sebagai bagian program Kampus Merdeka bisa diinisiasi. Dalam konteks itu, alumni Sejarah bisa menjadi jembatan dan transformator bagi desa sekaligus para mahasiswa yang tengah menapaki bangku kuliah.

Ketiga, terkait eksistensi keyogyakartaan, desa menjadi salah satu pilar utama dimana Lurah juga berperan sebagai Pemangku Keistimewaan. Identitas kesejarahan desa menjadi krusial untuk menemukan karakter dan benang merahnya. Upaya untuk menelusuri sejarah dan hari jadi desa menjadi penting. Di situlah peran penting mahasiswa dan alumni sejarah dalam ikut membantu masyarakat dalam menemukan asal-usul desa. Selama ini ada keseragaman terkait hari jadi desa karena berpijak pada Maklumat Nomor 5 Tahun 1948 tentang Perubahan Daerah-daerah Kelurahan. Faktanya, tak sedikit desa yang telah lahir dan berdiri jauh sebelum dikeluarkan maklumat. Merunut sejarah hari jadi desa tak bisa asal-asalan karena ada metodologi yang tak boleh ditinggalkan agar narasi sejarah yang ditulis bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, moral akademis dan bermanfaat bagi masyarakat.

Ketiga hal di atas sesungguhnya bisa dijadikan gerakan pembuka bagi mahasiswa dan alumni sejarah FIB UGM khususnya dalam pengabdian kepada masyarakat. Sebagai perguruan tinggi kebangsaan yang usianya beriringan dengan berdirinya Republik ini, UGM menjadi rumah bersama bagi anak-anak bangsa dari berbagai penjuru Nusantara.

Bulaksumur ibarat kawah candradimuka bagi mereka, dan Yogyakarta menyediakan diri sebagai sparing partner yang tangguh bagi mereka. Saat mereka menyelesaikan studi dan kembali ke kampung halaman, ada tanggung jawab moral untuk ikut berbakti dalam karya nyata. Seperti pesan Rendra, mereka tak boleh canggung saat harus menghadapi realitas permasalahan.

Cendekiawan Sebagai Teman

Mahasiswa dan para alumni perguruan tinggi menempati posisi istimewa dalam struktur sosial masyarakat. Mereka berpredikat cendekiawan. Sudah banyak tokoh yang memberi definisi dan mengulas peran cendekiawan dalam dinamika kehidupan. Tidak saja sebagai pemikir yang diharapkan mampu menyediakan alternatif penyelesaian atas permasalahan kehidupan, mereka juga dituntut berani menyuarakan ketidakadilan yang terjadi dalam praktik berbangsa dan bernegara.

Kampus Biru tercatat telah menorehkan sejarah penting saat Orde Baru memasuki masa otoritarianisme. Gerakan reformasi antara lain digelorakan para cendekiawan UGM, sehingga masyarakat mengalami transformasi.

Saat masyarakat pedesaan merasakan perubahan akibat reformasi, tanggung jawab moral akademis kalangan cendekiawan tentu sangat dinantikan. Tak mudah bagi lurah atau kepala desa untuk melaksanakan dan memerankan beragam kewenangan yang diberikan konstitusi. Di sinilah peran cendekiawan diperlukan sebagai teman. Para mahasiswa dan alumni Sejarah dituntut bisa mendampingi pemerintah desa (kelurahan) dalam menapaki perubahan dan pembangunan.

Ada banyak potensi penyimpangan yang berakibat pembangunan tidak tepat sasaran. Kaum cendekiawan diharapkan berani dan mampu membawa lentera kehidupan bagi masyarakat pedesaan. Itulah esensi merenda juang yang coba digerakkan melalui Reuni Alumni Sejarah UGM tahun 2022.

Wahjudi Djaja, S.S., M.Pd

(Alumni Sejarah FS UGM, Ketua Panitia Reuni Alumni Sejarah UGM)


Leave a Comment

Your email address will not be published.

You may also like

Hot News

Instagram
WhatsApp
Tiktok
error: Content is protected !!