Borobudur Mandala Wisata |

Borobudur Mandala Wisata

By

GUGAT.ID (Yogyakarta) – Pariwisata itu soal citra yang rentan terhadap isu. Dalam masyarakat yang belum sepenuhnya teredukasi terkait literasi digital, citra yang ditampilkan akan dengan cepat menjadi viral. Jika sebuah destinasi citranya positif, akan menggerakkan wisatawan untuk segera datang. Sebaliknya jika citranya negatif, bukan saja akan dijauhi tetapi juga akan di-bully habis-habisan. Citra sebuah kota pun bisa dengan mudah rusak hanya karena tabiat juru parkir atau pedagang kaki lima yang menggunakan ”aji mumpung” dalam memberi harga. Petaka datang saat itu diunggah kurban di media sosial. Susah payah kita harus menghadapinya. 

Bermula dari Rakor Pengembangan Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) pada 4 Juni 2022 yang dihadiri sejumlah kementerian, BUMN, serta Gubernur Jateng dan Bupati Magelang, kontroversi menyeruak tanpa henti. Rakor memutuskan melakukan pembatasan kunjungan wisata ke Borobudur dengan cara mengatur harga tiket dengan alasan perlunya konservasi terhadap peninggalan sejarah abad VIII M itu. Rasanya tak ada yang menentang pentingnya konservasi terhadap candi Borobudur. Selain sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia (World Cultural Heritage, 1991) oleh UNESCO, Borobudur juga menjadi pusat perayaan agama Budha. Lalu dimana pijakan rasionalitasnya sehingga kebijakan itu menuai kontroversi?

Mandala Wisata

Jauh sebelum ditetapkan sebagai DPSP oleh pemerintah hingga harus dibentuk Badan Otorita Borobudur (BOB) pada 2017, Borobudur telah lama menjadi tujuan wisata yang menarik kunjungan wisatawan domestik maupun mancanegara dalam jumlah yang besar. Keberadaannya senafas dengan filosofinya sebagai mandala, yakni lingkaran yang menjadi pusat dunia. Borobudur juga merangkai dua destinasi yang lain, yakni Candi Prambanan dan Kraton Yogyakarta, segitiga pariwisata yang mampu menggerakkan jutaan orang untuk datang. Ribuan orang bertahun lamanya menggantungkan usaha dan jasa wisatanya dari keberadaan Borobudur. Sepanjang tahun apalagi saat liburan sekolah dan lebaran, Jalan Magelang dan Jalan Solo dari arah Yogyakarta menjadi saksi bisu kuatnya daya tarik wisata ketiga destinasi. Populer bagi rakyat kebanyakan, eksklusif bagi wisman.

Baca Juga

Dalam kedudukan sebagai mandala wisata, Borobudur mampu menggerakkan dinamika pariwisata di kawasan sabuk Menoreh yakni Magelang, Purworejo, Kulon Progo, Sleman, dan Kota Yogyakarta. Dinamika menguat setelah Borobudur ditetapkan sebagai salah satu DPSP dan bandara pindah dari Adi Sutjipto di Maguwo ke Yogyakarta International Airport (YIA) di Kulon Progo. Dinas Pariwisata Sleman dan Kulon Progo berikut pelaku wisata dan asosiasi pariwisata menyiapkan program akselerasi untuk mengambil momentum tersebut. Investor pun terlihat mulai mengambil kesempatan untuk ikut bermain. Badan Promosi Pariwisata Sleman (BPPS), misalnya, menginisiasi Festival Van der Wijck (Tempel, 7-8 Maret 2022) dan Kenduri Jeep Nasional (Moyudan, 1-2 Oktober 2022) dalam rangka menggerakkan wisata di Sleman bagian barat yang berbatasan dengan Kulon Progo. Dalam kondisi seperti itu, muncul kebijakan baru terkait kuota dan tiket kunjungan ke Borobudur.

Beberapa Skema Sebagai Solusi

Kontroversi terkait pengaturan kuota dan tiket ke Borobudur harus segera diakhiri agar tidak kontraproduktif bagi dunia pariwisata. Beberapa skema dan langkah bisa diambil dengan tetap mempertimbangkan keberadaan ratusan pedagang di kawasan Borobudur dan jaringan usaha pariwisata yang menopangnya.

Pertama, Kemenparekraf dan PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, Ratu Boko perlu secepatnya memberi kepastian dengan membuat kebijakan yang adil dan proporsional.

Kedua, pemerintah melalui Badan Otorita Borobudur perlu berkolaborasi dengan Dinas Pariwisata di kawasan sabuk Menoreh untuk menghidupkan destinasi yang ada sebagai buffer (penyangga) Borobudur. Banyak desa wisata dan destinasi wisata yang perlu disuport melalui event atau festival agar lebih dikenal dan bisa mengurangi akumulasi kunjungan ke Borobudur. Kebijakan yang dibuat tentu tak hanya artifisial tetapi benar-benar menyasar dan mampu mengangkat potensi yang ada.

Ketiga, perlunya edukasi kepada calon wisatawan tentang peranan Borobudur bagi peradaban dunia. Harus diakui sikap dan mentalitas wisatawan domestik masih menyedihkan. Tingkah laku seperti pethakilan atau jagjagan, harus dikenai sanksi berat. Borobudur adalah legacy nenek moyang yang mengagumkan, sekaligus tempat ibadah umat Budha. Etika dan rasa handarbeni harus diutamakan dan setiap upaya merendahkan harus dikenai hukuman.

Pariwisata telah ditetapkan sebagai lokomotif penggerak perekonomian bangsa. Jika itu menyangkut wisata sejarah dan warisan budaya, maka investasi dan kapitalisasi terhadap keduanya tidak boleh menjauhkan anak-anak bangsa dari kebanggaan pada warisan nenek moyangnya. Ingat, kota tanpa bangunan tua bagai manusia tanpa ingatan.

Penulis : Wahjudi Djaja, S.S., M.Pd

(Sejarawan Alumni FS UGM, Dosen STIE Pariwisata API Yogyakarta)


Leave a Comment

Your email address will not be published.

You may also like

Hot News

Instagram
WhatsApp
Tiktok
error: Content is protected !!