Seni Tayub Kesenian Lawas Di Pelosok Gunungkidul |

Seni Tayub Kesenian Lawas Di Pelosok Gunungkidul

By

GUGAT.ID – Budaya kesenian tayub atau yang lebih sering di sebut ledek adalah kesenian rakyat yang tumbuh dari masyarakat pinggiran. Banyak sejarah yang dapat kita gali dari jenis tarian yang menyuguhkan keselarasan antara gerak dan irama gamelan tersebut.

Tayub yang diambil dari kata tata dan guyub yang artinya kurang lebih ditata/ diatur supaya terlihat guyup ( rukun).Dalam konteks yang bisa dilihat yaitu bersama menari atau bersenang – senang tetapi tetap dalam tatanan atau aturan.

Meski termasuk kesenian lama tayub / tayuban masih banyak diminati kalangan masyarakat khusunya Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Di Jawa timur seperti Pacitan dan Magetan kesenian ini disuguhkan dalam acara- acara hajatan, sementara di Jawa tengah seperi Wonosobo dan Purworejo biasa digunakan sebagai acara tahunan bersih desa.

Didalam masyarakat Gunungkidul sendiri seni Tayub mungkin sudah sedikit mulai punah dan terkikis oleh hiruk pikuk ramainya kesenian Campursari tetapi disebagian wilayah tari Tayub masih tetap digunakan sebagai adat Memetri atau bersih dusun, di wilayah pesisir seperti Pantai Siung dan Nglambor serta Sadeng bahkan masih sering diadakan acara “Nglarung” dengan  nanggap tayub.

Baca Juga 

Salah satu dusun di Gunungkidul yang sebagian penduduknya mempunyai mata pencarian sebagai seniman tayub yaitu di Dusun Badongan karangsari Semin terletak di ujung wetan Kabupaten Gunungkidul dan berbatasan langsung dengan wilayah Wonogiri Jawa tengah.

Foto Tayub Ngesti Laras

Sunaryo (60) atau lebih akrab dipanggil pak Jayus merupakan salah satu seniman tayub yang memulai pekerjaanya sebagai penabuh gamelan sejak usia muda. Sudah lebih dari 40 tahun Jayus malang melintang di dunia Tayub, bahkan istrinya Sumarni (55) juga merupakan penari Tayub yang awal pertemuanya juga dalam acara pentas Tayub.

“Kami bertemu di daerah Wonosobo (Jawa tengah) di lereng gunung Sumbing tepatnya desa Banyu ngudal,disana (lereng gunung Sumbing) setiap tahun yang namanya saparan bulan Sapar (Shafar) selalu diadakan ritual bersih desa dengan nanggap tayub yang dulu wajib asli dari daerah yogyakarta” ujar Sumarni (13/05/22).

Menjadi seniman tayub sejak muda banyak suka duka yang sudah dilalui oleh pasangan ini, bahkan dua tahun terahir dimana pandemi covid-19 melumpuhkan hampir semua aspek ekonomi dimana seniman berdampak langsung oleh situasi tersebut.

“Sebenarnya bapak (Jayus) bukan cuma penabuh gamelan di Tayub tapi juga ikut menjadi pengrawit Wayang dan Campursari. Tapi hampir dua tahun ini ya libur panjang , tapi Alkhamdulilah sekarang sudah ada pelonggaran kepada Seniman semoga tahun ini dan kedepan sudah jauh lebih baik ” imbuh Sumarni.

Lebih jauh Sumarni menuturkan jika sekarang ini dia mulai kesulitan dalam mencari generasi baru, tak banyak bahkan hampir tidak ada anak muda khususnya yang tertarik melestarikan kesenian ini. Mereka lebih suka belajar menjadi penyanyi Campursari dibandingkan dengan menjadi penari Tayub.

(red/v3)

Leave a Comment

Your email address will not be published.

You may also like

Hot News

Instagram
WhatsApp
Tiktok
error: Content is protected !!