GUGAT.ID – Pada tanggal 20 Oktober 2022, Presiden Jokowi meresmikan Peraturan Pemerintah (PP) yang menetapkan lima universitas negeri menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum (PTNBH). Lima kampus tersebut adalah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Negeri Semarang (Unnes), Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), dan Universitas Terbuka (UT).
Penetapan itu ditanggapi secara sumringah oleh pimpinan perguruan tinggi terkait. Fathur Rokhman selaku Rekotor Unnes, misalnya, menyambut hangat status PTNBH kampusnya dengan kata-kata optimis.
“Ini menjadi tonggak baru dalam sejarah perkembangan Unnes, kemajuan dan kegemilangan pendidikan,” kata Fathur Rokhman.
Di tempat lain, Rektor UT Ojat Darojat bersyukur bahwa UT mampu menggapai status PTNBH di usia muda.
“Di usia kampus UT yang sekarang 38 tahun, termasuk usia yang muda telah mencapai status perguruan tinggi PTNBH,” ujar Ojat Darojat.
Dua tanggapan itu mencerminkan kebahagiaan dari sisi pejabat kampus, namun apakah yang mungkin terjadi memang seperti itu?
Perguruan Tinggi dan Perlombaan Menuju PTNBH
Melalui kebijakan Kampus Merdeka, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi berniat mendorong PTN Badan Layanan Umum (BLU) dan Satuan Kerja (Satker) untuk menjadi PTN Badan Hukum (PTNBH). Pada poin ketiga disebutkan bahwa Kemendikbudristek akan memberi “kebebasan bagi PTN BLU dan Satker untuk menjadi PTN Badan Hukum.” Hal ini tertuang dalam Permendikbud No. 4 Tahun 2020 tentang Perubahan Perguruan Tinggi Negeri menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum.
Lalu, pertanyaannya, faktor apa yang membuat Kemendikbudristek memperingan syarat PTNBH?
Secara umum, PTNBH mempunyai berbagai macam keunggulan dibanding PTN BLU dan Satker. Pasal 65 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyebutkan bahwa PTN yang mengantongi status Badan Hukum diperbolehkan:
Selain fasilitas tersebut, PTNBH juga diperbolehkan menarik dana dari mahasiswa dan masih mendapat kucuran dana dari negara (Pasal 84 ayat (1) dan Pasal 89 ayat (2)). Bandingkan dengan PTN BLU dan Satker; dalam ranah otonomi, PTN BLU dan Satker sangat terbatas. PTN BLU, contohnya, hanya bisa menetapkan tarif biaya dan layanan melalui persetujuan Menteri Keuangan (PP No. 74 Tahun 2012 Pasal 9 ayat (1), (4), (5), (6), (7)) sedangkan PTN Satker mesti menyerahkan seluruh pendapatannya ke rekening negara sebelum digunakan.
Dari tiga model tersebut, PTNBH merupakan tata kelola yang paling ideal.
Dengan kepemilikan status PTNBH, kampus dapat membuka badan usaha, menarik dana dari mahasiswa, bisa membuka dan menutup Program Studi, serta hak mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel.
Berbagai macam fasilitas PTNBH pada akhirnya membuat PTN berlomba-lomba mengubah statusnya menjadi badan hukum supaya mendapat otonomi dan fleksibilitas pelayanan.
Stipulasi Kemendikbudristek dapat dibaca dalam kerangka itu: secara sederhana, Kemendikbudrisetk menginginkan kampus menyandang PTNBH agar mereka lebih mandiri dalam mengelola segala aktivitasnya.
a. memiliki kekayaan awal berupa kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah;
b. tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri;
c. unit yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi;
d. hak mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel;
e. wewenang mengangkat dan memberhentikan sendiri Dosen dan tenaga kependidikan;
f. wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi;
g. wewenang untuk membuka, menyelenggarakan, dan menutup Program Studi.
Paradoks Pembangunan Sumber Daya Manusia
Ketika sebuah perguruan tinggi mendapat status badan hukum, maka ia mempunyai hak untuk menarik dana dari mahasiswa. Satu hal yang tidak terhindarkan dari kemewahan ini adalah naiknya biaya kuliah di universitas negeri.
Meski Plt Dirjen Diktiristek Kemendikbudristek telah memperingatkan PTNBH agar tidak menaikkan ongkos studi, pada kenyataannya rupiah yang harus dibayarkan calon mahasiswa untuk bisa berkuliah semakin mahal.
Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional Modul Sosial Budaya dan Pendidikan 2018, rata-rata total biaya pendidikan tinggi tahun ajaran 2017/2018 mencapai Rp. 15,33 juta. Bandingkan misalnya dengan pendapatan per kapita masyarakat Indonesia yang hanya 56 juta rupiah per tahun, atau 4,6 juta rupiah per bulan. Dari hitung-hitungan sederhana, setiap warga Indonesia membutuhkan waktu tiga bulan lebih masa kerja untuk menanggung biaya kuliah per tahunnya; dari data itu, sulit tampaknya untuk menolak argumen bahwa biaya kuliah memang mahal (Panji Mulki, 2019). Mahalnya ongkos kuliah berdampak pada Angka Partisipasi Kasar (APK) Indonesia yang hanya 31,18%.
Laporan Potret Pendidikan BPS pada tahun 2019 bahkan mewartakan “hanya sembilan persen penduduk Indonesia yang berhasil menyelesaikan pendidikannya hingga jenjang Perguruan Tinggi.”
Semakin mahalnya biaya pendidikan tinggi merupakan paradoks dan tragedi upaya pembangunan sumber daya manusia di Indonesia.
Padahal, pada tahun 2019, Presiden Jokowi telah mengumandangkan Visi Indonesia yang bermaksud memusatkan perkembangan Indonesia melalui pengembangan SDM.
“Kita akan menggeser, yaitu kepada pembangunan sumber daya manusia. Kita ingin memberikan prioritas kepada pembangunan sumber daya manusia kita. Pembangunan SDM menjadi kunci Indonesia ke depan.”
Jika Pemerintah Indonesia memang berniat membangun SDM, seharunya mereka mempertimbangkan ulang kebijakan PTNBH. Calon mahasiswa, mahasiswa/I, dan orang tua juga harus lebih aktif berpartisipasi dalam perumusan kebijakan alternatif.
Kehadiran PTNBH bukannnya mempermudah, namun malah mempersulit upaya pengembangan SDM Indonesia. Hal itu karena salah satu bangunan fundamental sumber daya manusia yang berkualitas adalah taraf pendidikan (World Bank, 2019). Semakin tinggi tingkatan pendidikan, maka semakin berkualitas pula sumber daya manusia sebuah negara (OECD, 2001).
Bila rakyat Indonesia tidak bisa mencapai level universitas karena mahalnya biaya kuliah, sumber daya manusia sulit terwujud. Apalagi dalam era ekonomi berbasis pengetahuan seperti sekarang ini. Untuk melakukan inovasi, seseorang butuh kreativitas dan pengetahuan teoretis.
Jenjang pendidikan yang memfokuskan diri pada pengembangan pengetahuan teoretis adalah perguruan tinggi. Jikalau anak-anak muda Indonesia tidak mendapatkan porsi pengetahuan teoretis dan kadar kreativitas yang cukup, Indonesia akan sulit bersaing di dunia yang mulai mengandalkan pengetahuan dan inovasi (OEDD, 1996).
(RED/Rizkiansyah Fitramadhana)